Wara Warta

menulis berdasarkan pendapat pengalaman dan refrensi

KAMI PUNYA BANYAK DATABASE CARI ATAU BACA ARTIKEL YANG LAINYA

Rabu, 27 Februari 2013

pengalaman bisnis internet komputer dan sejenisnya l makalah star-up

Pelajaran Dari Mendirikan Perusahaan Start-Up: Lessons Learned from Starting-Up
Budi Rahardjo
PT INDO CISC
e-mail: budi@indocisc.com
Juni 2003
makalah ini dibuat diharapkan bisa jadi sumber inspirasi
Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang entrepreneurship. Mahasiswa digiring untuk menidirikan usaha sendiri dengan iming-iming menjadi Bill Gates kedua. Apakah semudah itu? Jika memang semudah itu, mengapa kita belum mendengar cerita sukesnya? Tulisan ini mencoba menceritakan suka dukanya membuat usaha sendiri, atau yang dikenal dengan istilah mendirikan start-up. Tulisan ini berdasarkan kepada pengalaman penulis yang mungkin tidak dapat digeneralisir menjadi kaidah umum dalam perjalanan mendirikan perusahan. Paling tidak, tulisan ini mencoba menceritakan pelajaran yang penulis peroleh. Untuk itu tulisan ini tidak terlalu formal.

Daftar Isi
Awal Perjalanan 2
Software & hardware house: Iqra Biomedical2
ISP: Canada Overdrive Online3
Web hosting: Iscom4
Perjalanan Berikutnya4
Konsultan: Insan Komunikasi, Insan Infonesia4
Venture Capital: INDOCISC4
Pengamatan lain dalam perjalanan ini5
Pelajaran Yang Diperoleh6
Kesimpulan7
Awal Perjalanan
Bagian ini akan menceritakan awal perjalanan saya dalam mengembangkan start-up, yaitu ketika di Kanada.
Software & hardware house: Iqra Biomedical
Keinginan saya untuk mendirikan perusahaan dimulai ketika saya mengambil pendidikan S2 dan S3 di Kanada. Kala itu saya memiliki beberapa teman dari berbagai jurusan; electrical engineering, computer science, dan dari kedokteran. Salah seorang dari mereka pernah ditugasi dosennya untuk membuat program untuk melakukan diagnosa pasien. Program tersebut mengimplementasikan sebuah expert system dan mencoba menganalisa penyakit yang diderita oleh pasien berdasarkan data-data yang diberikan oleh pasien tersebut. Kami pikir program ini bisa diteruskan menjadi sebuah program komersial.

 Selain itu rekan-rekan di kedokteran juga telah menggunakan alat-alat elektronik untuk melakukan operasi. Mereka adalah dokter-dokter muda yang terbiasa menggunakan komputer (e-mail dan sejenisnya). Kemudian timbul ide untuk mengkomputerkan perangkat laparoscopy. Dengan modal dua ide ini kami sepakat untuk membuat sebuah usaha bersama dengan nama Iqra Biomedical. Modal kami tidak banyak karena sebagian besar kami adalah mahasiswa, apalagi saya mahasiswa asing yang notabene keuangannya pas-pasan.

Langkah pertama yang kami lakukan adalah mendokumentasikan semua yang kami miliki dan melakukan pencarian informasi (riset) awal. Setelah itu kami menghubungi sebuah institusi yang bernama IRAP, Industrial Research Assistance Programme yang merupakan bagian atau program dari National Research Council. Misi dari IRAP ini adalah membantu industri kecil dan menengah dalam mengembangkan kemampuannya di bidang teknologi dan inovasi. Saya lupa berapa yang harus kami bayar kepada IRAP waktu itu, mungkin CAN$ 500? (ataukah CAN $100?). Yang saya ingat adalah biayanya terjangkau. 

Kami berkonsultasi dengan IRAP tentang kemungkinan teknologi dan bisnis kami itu. IRAP kemudian melakukan risetnya dan memberikan hasilnya dalam bentuk sebuah dokumen. Dalam dokumen tersebut ditunjukkan potensi dari bisnis, kelemahan dari bisnis kami, kompetitor kami, pakar-pakar di Kanada yang dapat dihubungi untuk melakukan konsultasi teknologi, dan hal-hal lain yang sangat membantu kami dalam memfokuskan diri. Kami juga diberi kesempatan untuk banyak melakukan konsultasi. Berdasarkan masukan ini, kami meneruskan untuk melakukan usaha tersebut. Sebagai catatan, inisiatif seperti IRAP ini belum ada di Indonesia. 

Ataupun kalau ada, saya belum pernah mengetahui.
Sayangnya dalam perjalanannya usaha kami ini tidak berhasil karena beberapa hal, antara lain:
•Kami kehabisan dana (untuk menggaji seorang programmer untuk melakukan dokumentasi requirement engineering dan menyewat tempat di basement rumah). Dugaan kami bahwa pekerjaan dapat selesai dalam waktunya ternyata molor.;
• Komitmen dari calon pembeli alat (laparoscopy) masih belum ada karena alat tersebut terlalu advanced waktu itu (sekarang sudah ada yang mencobanya di Itali). Kami mempresentasikannya di depan dokter-dokter di sebuah rumah sakit umum di kota kami. Mereka masih belum dapat menangkap konsepnya. We were ahead of its time;
•Biaya untuk melakukan pengujian di bidang medical sangat mahal (karena menyangkut manusia sehingga harus hati-hati); Kami harus mendatangkan pakar dari beberapa kota untuk mengevaluasi produk jika sudah jadi. Ini terlalu mahal.
Akibatnya usaha tersebut berhenti di tengah jalan. Namun kami akan mencobanya kembali. Sampai sekarang belum terlaksana.

ISP: Canada Overdrive Online
Tahun 1995 Internet mulai boleh digunakan untuk keperluan komersial. Akses ke Internet mulai dibuka untuk masyarakat umum. Mulailah muncul industri akses Internet yang dikenal dengan nama Internet Service Provider (ISP). Akhirnya kami pun mendirikan perusahaan ISP dengan nama Canada Overdrive Online (COOL) yang dimulai dari basement rumah dengan modal sebuah komputer, sebuah modem, dan sebuah koneksi ISDN. Sebagai catatan, waktu itu belum ada satu ISP yang sangat dominan seperti AOL saat ini. AOL masih kecil akan tetapi tumbuh dengan cepat. Waktu itu kami berharap dapat menjadi AOL-nya Kanada. Itulah sebabnya nama usahanya agak nyerempet AOL.

Semenjak Netscape sukses besar dengan IPO (Initial Public Offering) di bursa saham, banyak orang yang ingin mendirikan perusahaan high-tech dan kemudian melaju ke IPO. Inilah awal dari munculnya “dotcom”. Usaha kami pun mulai diminati oleh beberapa orang di komunitas. Mulailah kami membuat dokumen bisnis, meresmikan bisnis (incorporated), dan menjual saham diantara “friends and family”.

 Terus terang kami tidak mengetahui teori-teori bisnis (khususnya start-up) yang kemudian mulai muncul. Bisnis kemudian meningkat sehingga kami harus pindah ke sebuah ruko dengan menyewa saluran telepon yang lebih banyak.
Namun nampaknya bisnis ISP tidak semudah yang disangka. Persaingan sangat ketat dan diperlukan investasi terus menerus karena kemajuan teknologi. Modem yang tadinya hanya 9600 bps, harus diganti ke 33,6 kbps. Baru selesai pergantian (investasi), harus diganti lagi dengan 56 kbps. Implikasinya adalah keuntungan tak kunjung datang karena keuntungan harus diinvestasikan kembali. Bahkan untuk menjaga agar kompetitif dan break even, kami harus meningkatkan jumlah saluran telepon.
Pada akhirnya bisnis kami ini harus kami jual kepada orang lain karena kami tidak mampu mengurusi sisi bisnisnya. 

Kami kebetulan adalah orang-orang teknis yang melihat kesempatan (opportunity), akan tetapi tidak memiliki latar belakang bisnis yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan bisnis.
Pelajaran yang saya peroleh dari bisnis ini:
•Bisnis ISP merupakan bisnis yang tidak terlalu menguntungkan. Itulah sebabnya saya cukup heran ketika kembali ke Indonesia dan banyak orang ingin mendirikan ISP. Saya berikan saran-saran berdasarkan pengalaman saya. Namun iming-iming untuk menjadi sukses lebih dominan.
•Bisnis yang sangat ditentukan oleh teknologi seperti ini harus selalu merencanakan perkembangan teknologi agar tidak melakukan investasi terus menerus dan tidak kunjung break-even.
•Sebaiknya bisnis dijalankan oleh orang yang mengerti bisnis, bukan oleh techie (orang teknis). Atau, jika sang techie ingin menjalankannya, maka dia harus mengerti bisnis. Atau, mungkin pelajaran bisnis dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan teknis.

Web hosting: Iscom
Model bisnis berikutnya yang mulai berkembang waktu itu adalah web hosting. Maka saya pun tidak ketinggalan. Beserta kawan-kawan (sesama mahasiswa Indonesia yang besekolah di luar negeri) yang tersebar di berbagai penjuru dunia mulai berkeinginan untuk terjun ke usaha web hosting lengkap dengan programmingnya dengan nama Iscom. Lagi-lagi dimulai dari mengumpulkan dana sesama mahasiswa Indonesia.
Sayangnya bisnis ini juga gagal. Bagi saya sangat berat untuk mempertanggung-jawabkan hilangnya uang rekan-rekan yang dititipkan di bisnis ini. Kali ini kegagalan disebabkan oleh:
•Tidak adanya yang mau menekuni sisi bisnis. Kala itu saya sendirian menjalankan hampir semuanya, mulai dari setup sistem sampai ke marketing;
•Waktu itu belum banyak orang Indonesia yang mengenal Internet, apalagi web hosting. Lagi-lagi, kami terlalu advanced;
•Model bisnis dari web hosting ternyata juga masih belum jelas.
Perjalanan Berikutnya
Akhir tahun 1997, saya kembali ke Indonesia di tengah badai krisis moneter. Kegagalan membuat bisnis di Kanada tersebut tidak membuat saya jera. Saya coba kembali membuat beberapa usaha di Indonesia.
Konsultan: Insan Komunikasi, Insan Infonesia
Sebelum pulang ke Indonesia, kami sempat mendirikan sebuah perusahaan yang memfokuskan diri ke jasa konsultasi teknologi informasi dengan nama Insan Komunikasi (dimana ada kemiripan nama dengan Iscom) yang kemudian akhirnya berganti nama menjadi Insan Infonesia. Kali ini kami memulai dari keluarga sendiri dengan langkah yang perlahan-lahan. Perusahaan ini sampai sekarang masih bertahan, meski masih kecil. Mudah-mudahan perusahaan ini bisa menjadi contoh sukses.
Venture Capital: INDOCISC
Bisnis dotcom mulai meledak di tahun 1999 dan 2000. Muncullah entity yang bernama venture capital di dalam peta bisnis Information Technology (IT) di Indonesia. Venture capital sendiri sebetulnya bukan sesuatu yang baru di dunia IT. Namun di Indonesia, ini masih sesuatu yang baru. Saya pun kemudian terbujuk untuk mencoba usaha dengan bantuan venture capital dari Korea. Tadinya saya tidak berkeinginan untuk membuat usaha ini karena toh sudah ada perusahaan (Insan Komunikasi, lihat bagian sebelumnya). Namun akhirnya saya tertarik juga untuk mencoba bekerja-sama dengan venture capital. Mulailah kami membuat badan usaha yang bernama INDOCISC dengan bidang: community system development dan security. (Pada akhirnya kami memfokuskan pada bidang security.)
Dari INDOCISC ini kami juga mengembangkan badan usaha lain yang bergerak dalam bidang pengembangan komunitas dan SDM, serta penempatan SDM IT di luar negeri. Sayangnya badan usaha lain ini tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini disebabkan karena:
•Kurangnya orang yang fokus dalam penjalankan bisnis tersebut. Kesulitan mendapatkan SDM yang dapat menjalankan bisnis merupakan salah satu kendala besar. SDM yang berkutat di bidang teknis tidak terlalu masalah (meskipun masih kekurangan juga);
•Jatuhnya bisnis dotcom (bubble bust) di seluruh dunia sehingga membuat banyak perusahaan IT tutup;
•Ketidak-cocokan antar pendiri dan pemegang saham. Ketika masalah muncul, maka mulai nampak karakter dari masing-masing. Kecocokan pada tahap awal belum menjadi jaminan akan cocok terus. Hal ini sudah berulang kali terjadi.
INDOCISC sendiri akhirnya memfokuskan diri dalam bidang security dan tidak menangani lain-lainnya (meskipun kami bisa). Adanya fokus ini ternyata membawa berkah karena dia menjadi dikenal dalam bidang security. Untuk pekerjaan yang non-security, INDOCISC bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain yang lebih fokus dan kompeten di bidangnya. Misalnya, jika ada yang menawarkan pekerjaan untuk melakukan desain web, kami sarankan untuk menghubungi partner kami yang memang fokus kepada usaha tersebut. Pelajaran baik yang dapat dipetik:
•Fokuskan pada satu bidang atau kompetensi tertentu. Jangan mau semua (meskipun bisa). Dalam bahasa Inggris dikenal peribahasa: “Jack of all trades, master of none”.
•Giat dalam bidang Research & Development (R&D). Kami tahu bahwa kekuatan dari kami adalah pada sisi R&D nya.
•Dekat dengan perguruan tinggi merupakan salah satu keuntungan untuk mendapatkan SDM (untuk melakukan R&D), teknologi, dan ide-ide. Perguruan tinggi merupakan tempat yang relatif aman dan murah untuk menguji dan mengeksplorasi ide. Mahasiswa merupakan tenaga murah yang dapat dilibatkan dalam pengembangan. Sementara itu mahasiswa senang dilibatkan karena dia mendapatkan pengalaman industri yang nantinya bisa menjadi track record dia ketika dia selesai.
Pengamatan lain dalam perjalanan ini
Selain mendirikan perusahaan, saya masih aktif mengajar dan meneliti di perguruan tinggi. Dalam pergaulan di kampus dan dengan industri ada beberapa komentar yang dapat saya tangkap:
•Kadang-kadang perguruan tinggi menjadi pesaing bagi industri kecil dan menengah. Ini dianggap kurang fair bagi entrepreneur. Bukannya mereka dibantu, mereka malah disaingi oleh perguruan tinggi. Ada istilah entrepreneur university yang menurut saya agak keliru. Ternyata yang dimaksud dengan entrepreneur university adalah sang perguruan tinggi-nya lah yang menjadi entrepreneur. Padahal seharusnya mahasiswanya, lulusannya, dan mungkin dosennya yang didorong dan didukung untuk menjadi entrepreneur, bukannya malah ditandingi. Situasi ini tidak kondusif.
•Beberapa perguruan tinggi mengungkapkan ingin mendorong mahasiswanya untuk menjadi entrepreneur. Namun pada kenyataannya belum ada laboratorium atau kurikulum yang mendukung ke arah sana. Jadi pernyataan atau keinginan tersebut masih terbatas pada lip service. Hal ini perlu diubah jika memang perguruan tinggi serius ingin menciptakan entrepreneurs.
•Perguruan tinggi masih belum serius dalam mengijinkan stafnya (dosen) untuk terjun membuat usaha (menjadi entrepreneur). Perlu dibedakan antara dosen yang mengerjakan proyek (mroyek) dan dosen yang ingin mengembangkan industri dimana dia merupakan salah satu pemain di industri tersebut. Keduanya masih dianggap sama. Padahal yang terakhir ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi contoh nyata (riil) bagi mahasiswa. Kesuksesan seorang dosen masih diukur dengan ukuran konvensional (seperti jumlah makalah).
•Belum adanya insentif dan program dari Pemerintah. Yang ada baru program-program yang sekedar “wah” (sehingga nama pejabat yang bersangkutan dikenal) namun tidak memiliki visi dan langkah yang jelas dan nyata bagi pelaku bisnis.
•Kebanyakan mahasiswa masih berjiwa “ingin kerja ke perusahaan orang lain”. Opsi mengembangan usaha sendiri baru muncul belakangan ini dan masih belum populer.
Pelajaran Yang Diperoleh
Pada bagian ini saya ingin merangkumkan pelajaran yang kami peroleh dalam mendirikan menjalankan start-up. Beberapa sebab kegagalan, antara lain:
•Teknologi dan produk yang dihasilkan terlalu advanced sehingga belum diminati. Biasanya produk ini di-drive oleh para insinyur (techie, engineers).
•Belum ada inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk membantu industri kecil seperti ini. Bahkan, ada “gangguan” seperti perpajakan untuk perusahaan yang baru tumbuh. Seharusnya ada inisiatif untuk membantu industri kecil dengan menangguhkan perpajakan sampai perusahaan yang bersangkutan benar-benar stabil (misalnya dengan membebaskan dari pajak sampai 10 tahun seperti dilakukan di Malaysia atau Taiwan). Adanya insentif ini membuat pelaku bisnis semangat untuk melakukan investasi dan membuka lapangan kerja. Topik ini merupakan hal yang penting dan perlu dibahas secara terpisah.
•Belum ada bantuan dari Pemerintah Indonesia, seperti halnya adanya program IRAP (Industrial Research Assitance Program) di Kanada. Program bantuan yang ada masih bersifat proyek yang selesai setelah dana berhenti. Industri kecil terpaksa belajar sendiri dari kegagalannya. Jika digabungkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh semua industri kecil, jumlahnya akan besar. Ini merupakan pelajaran yang sangat mahal.
•Kurangnya SDM yang dapat menjalankan bisnis (bukan sisi teknis) yang mengerti teknologi. (Kemana saja lulusan ekonomi dan management?)
•Keharmonisan antara pendiri, pemegang saham, dan yang menjalankan bisnis belum tentu langgeng. Perlu dibuatkan aturan main (sistem) yang disepakati bersama pada awalnya sehingga tidak terjadi perpecahan di tengah jalan.
•Kehebatan teknis bukan menjadi jaminan kesuksesan sebuah bisnis.
Sementara itu pelajaran lain yang diperoleh dari usaha mendirikan start-ups antara lain:
•Pendirian usaha biasanya dimulai dari beberapa orang yang memiliki ide. Kemudian pendanaan dimulai dari beberapa orang ini ditambah dari kawan-kawan. Istilah yang umum adalah dari “friends and family”. Nampaknya ini adalah rule of thumb dalam mendirikan start-up. (Banyak buku yang membahas hal ini dan teori yang ada di buku tersebut memang benar karena telah saya alami.)
•Fokus kepada satu bidang atau kompetensi merupakan salah satu kunci kesuksesan. Jangan rakus dan mau semua.
•Orang teknis sebaiknya diberi bekal atau pengetahuan (wawasan) tentang bisnis. Pendidikan di perguruan tinggi yang memiliki jurusan teknis perlu diubah untuk mengakomodasi hal ini.

Kesimpulan
Mendirikan sebuah usaha start-up ternyata tidak mudah. Banyak hal yang tidak diketahui pada saat mendirikan perusahaan. Banyak perusahaan start-up yang mati di tengah jalan dikarenakan berbagai alasan yang telah diuraikan pada tulisan ini.
Saya pribadi masih terus belajar (dan siap jatuh bangun) mengembangkan bisnis yang bernuansa teknologi. Mudah-mudahan apa yang saya jalankan dapat menghasilkan sesuatu yang sukses besar sehingga dapat dijadikan contoh untuk memotivasi calon-calon entrepreneur baru.


PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!

thanks if u comments

Back To Top