Wara Warta

menulis berdasarkan pendapat pengalaman dan refrensi

KAMI PUNYA BANYAK DATABASE CARI ATAU BACA ARTIKEL YANG LAINYA

Jumat, 09 Agustus 2013

menganut dua agama 2

Pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk menjalankan kehidupan dalam sebuah keluarga.

Perkawinan memang sampai saat ini masih menyimpan berbagai kasus-kasus baru yang titik temunya tidak mudah untuk ditemukan. Kawin beda agama adalah salah satunya, tentu masyarakat awam atau orang yang berpenduduk dalam sebuah tempat penganut agama yang kuat jarang mendengar kasus ini.

Namun, perkawinan yang seperti ini tidak jarang kita temukan di kota metropolitan atau kota-kota maju yang lain. Kawin beda agama merupakan perkawinan yang dilakukan antara sepasang manusia, namun mereka menganut sebuah keyakinan atau agama yang berbeda.

Ini menjadi sebuah kasus yang rumit disebabkan bahwa aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, mulai dari Undang-undang, agama, dan adat tidak secara pasti dan bahkan menolak tentang perkawinan semacam ini.

masalah yang timbul akibat menganut dua agama bebeda dalam perkawinan rumah tanggga dan solusi :
Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

1. Keabsahan Perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

2. Pencatatan Perkawinan
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan Sipil (KCS) oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di KCS, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

3. Status Anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

4. Menikah di Luar Negeri
Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif (lihat artikel terkait di sini dan di sini). - See more at:

hukum tentang beda agama di diindonesia :
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yangmenyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara duaorang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karenaperbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraanIndonesia.

Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan bedaagama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehinggasemestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUAdan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atauperkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntasdan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak maumencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebutbertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor CatatanSipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukanmenurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinantentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menuruthukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinankedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukumagama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaankedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berartisatu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali
lagimenurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.

Saran
a. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.

b. Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama.Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan.Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakatsekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.

Refrensi mengenai kawin beda agama di luar negeri (contohnya malaysia)
Pemerintah Malaysia sedang menginvestigasi sengketa antara sebuah keluarga Kristen dengan pihak berwenang Islam soal jenazah seorang pria yang menganut kedua agama.

Perdana Menteri Abdullah Badawi mengatakan, Kabinet telah menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung supaya menentukan status agama orang tersebut, bernama Rayappan.

Kematiannya minggu lalu mencetuskan ancaman ketegangan rasial dan agama di negara itu.

Isterinya yang beragama Katolik bersikeras, suaminya meninggal sebagai seorang Kristen dan telah meluncurkan gugatan hukum untuk mengklaim jenazahnya, yang masih ditahan di rumah sakit.

Akan tetapi pihak berwenang Islam juga berusaha mengklaim jenazah Rayappan untuk dimakamkan secara Islam sehingga menimbulkan pertikaian dengan keluarganya.

Rayappan lahir sebagai seorang Katolik tetapi masuk Islam di tahun 1990.

PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!

thanks if u comments

Back To Top