Hefner: Islam dan Demokrasi
Apa kaitan antara Islam dan demokrasi di Indonesia? Apakah Islam sejalan dengan demokrasi atau sebaliknya? Bagaimana kira-kira konstribusi Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa datang? Apakah Islam di Indonesia masih punya masa depan? Empat untai pertanyaan sederhana namun penting ini relevan diajukan pada khazanah Islam yang mendedahkan wacana Islam dan demokrasi di Indonesia.
Membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya.
Justeru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islam pun, tentu saja, amat beragam. Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. Setidaknya, inilah poin penting dan pelajaran yang bisa kita ambil setelah menelaah buku-buku yang temanya saling bersentuhan, meskipun tidak bisa dikatakan sama persis alur bercerita dan isinya.
Jika dibandingkan antara buku yang satu dengan yang lainnya, maka ada (nuansa) persamaan-persamaannya, tapi juga ada (nuansa) perbedaan-perbedaannya. Dibandingkan buku lainnya, karya Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001, Edisi Bahasa Indonesia), tampaknya lebih menarik dan bermutu, baik dari cara penyajiannya maupun bobot isinya. Untuk itu, khazanah dalam tulisan ini, lebih difokuskan pada karya Hefner.
Entah kenapa para ilmuwan dan Indonesianis yang berasal dari Barat (atau luar Indonesia) sebut saja di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Fealy, Greg Barton, Daniel Lev, William Liddle, Harold Crouch, Mitsuo Nakamura, dan Hefner sendiri, seringkali menelorkan karya yang lebih menarik dan berbobot, dibandingkan dengan karya para ilmuwan Indonesia jika membahas tema yang (hampir) sama berkaitan dengan fenomena Indonesia. Ilmuwan asing tampaknya lebih cermat, tekun, teliti, profesional, dan luas perspektif keilmuannya dibandingkan dengan ilmuwan Indonesia. Ini bukan pandangan yang bias asing, melainkan berbicara tentang kenyataan.
Kita bisa periksa dan bandingkan antara karya ilmuwan asing dengan ilmuwan Indonesia, tentang berbagai hal yang berbau Indonesia yang cukup banyak bertebaran di tanah air. Sebutlah buku yang sama-sama punya titik sentral telaah wacana Islam dan Politik di Indonesia pada era Orde Baru. Cuma untuk sekadar perbandingan, beberapa buku memulainya dengan wacana Islam dan politik pada era Orde Lama.
Untuk menepis kesalahpahaman tentang bukunya yang mengekspos wacana “demokrasi”, terlebih dahulu Hefner mengajak pembaca untuk meletakkan wacana “demokrasi” pada proporsinya yang pas. Hal ini penting karena hingga sekarang, demokrasi—yang antara lain berisi nilai-nilai pluralisme, kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi, dan partisipasi—di satu sisi mempesona banyak orang, tapi di sisi lain juga mengundang skeptisisme.
Kelompok yang skeptis biasanya memandang demokrasi sebagai wacana yang berasal dari Barat, yang tentu saja tidak mungkin sesuai dengan budaya lain di luar Barat. Bahkan ada yang menganggap bahwa demokrasi, juga civil-society (dari sini mungkin Hefner mendapat istilah “civil-Islam”), merupakan cangkokan dari Barat, dan bagian dari proyek imperialisme Barat yang terselubung dengan retorika yang manis, enak, dan menarik. Inilah kecongkakan dan kekejaman Barat yang membungkus proyek Imperialisme dengan retorika yang indah dan luhur.
Hefner sebagai orang Barat mungkin saja bisa dianggap bias Barat. Demokrasi secara geneologis berasal dari Barat. Tapi, Hefner dan Barat ternyata juga punya argumentasi yang (cukup) baik untuk menepis prasangka-prasangka itu. Dalam dua titik ekstrem sikap terhadap demokrasi, baik yang menerima secara utuh maupun menolaknya, maka biasanya muncul “jalan tengah” yakni sikap kritis untuk belajar dari nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Yang bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal pun bisa dipakai, sementara yang tidak bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal sebaiknya ditepiskan. Hefner sendiri punya keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat.
Kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut Hefner, beberapa pemikir muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis. Dalam konteks ini, Hefner memutuskan untuk malampaui batas-batas pelatihan akademiknya dan bersepakat bagaimana seseorang berpikir tentang demokrasi dan reformasi agama dalam tradisi non-Barat. Penerimaan gagasan demokrasi di luar Barat tidaklah menjanjikan kebenaran, tapi lebih memperkaya.
Kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga.
Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan. Bahkan, di Eropa Barat modern, kita tahu keseimbangan capaian antara nilai-nilai demokrasi beragam menurut tempat dan waktu (hlm. 356). Sejarah tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman kita tetap zaman percobaan demokrasi, dan apakah lebih baik atau lebih buruk, putusan sejarah akan beragam.
AL-MAUDUDI
Al-Maududi adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islamtetapi banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini adalah keekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .
Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al- Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalammengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalahwajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karenadaulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut:“
Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkankonstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra,daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah,melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.” (Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)
Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi menurut Maududi dengan konsep khilafahmaka islam akan berhasil dan dapat melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negaraseluruh dunia dengan penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan olehRasulullah saw.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi idetheokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teorikedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnyakedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan.
Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatanrakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalamkenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang
sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Seperti halnya dengan Mohammad Natsir Maududi mengkritik keras sistem demokrasitetapi berbeda dengan mohammad Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem demokrasisecara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam adalah sistem khilafah dantelah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam. Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segalahal karena mengikuti perkembangan zaman.
TARIQ RAMADHAN
Tariq Ramadhan yang namanya sangat terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokohmuslim di dunia barat yang pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yangtinggal di barat. Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umatmuslim yang memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkanidentitas kemuslimannya.
Begitu juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda) kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h.242).
Seperti yang kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada didalam al-quran tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya
dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi bahwa Demokrasi dapatdijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari Maududi bahwa bahwa hanyasistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan kejayaan Islam di zaman Rasulullah sawdan dapat dipandang oleh dunia internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapatmelindungi umatnya sebagaimana di zaman Rasulullah saw
Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur, sapaan pendakwah legendaris ini juga sering disebut sebagai seorang pembaharu.
Sebutan ini tidak berlebihan jika melihat pemikirannya yang menyintesis Islam dan demokrasi, di tengah para pemikir Islam konservatif yang justru menolak demokrasi.
Dalam 'Islamo-Demokrasi' (Anas Urbaningrum, 2004), prinsip-prinsip dasar Islam, bagi Cak Nur, bukan saja tidak bermusuhan dengan demokrasi, malahan mampu memberikan substansi moral secara lebih maknawi. Bagi Cak Nur, Islam justru memberikan banyak kontribusi bagi demokrasi.
Di tengah banyak pengagum, tak jarang pula yang mengkritik profesor jebolan Universitas Chicago ini. Cak Nur dianggap telah menyebarkan sekulerisasi politik di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari ucapannya pada tahun 1970-an: 'Islam Yes, Partai Islam No'.
Dengan kata lain, Cak Nur menolak Islam sebagai ideologi dan menegaskan Pancasila sebagai dasar untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, melalui pendekatan kultural.
Lontaran Cak Nur itu terbilang cukup kontroversial jika melihat aliran politik Indonesia pada saat itu - dan mungkin juga sampai sekarang - masih belum bisa lepas dari akar sosial keagamaan yang kuat. Bahkan, bagi sebagian orang, ucapan itu sangat provokatif.
Adalah Prof. Dr. HM Rasjidi yang mengkritik habis-habisan Cak Nur. Bagi Rasjidi, kata-kata mantan Rektor Universitas Paramadina itu, bukan kata-kata orang yang percaya pada Quran. (TEMPO, 13 Januari 1973)
Penilaian itu utamanya ditujukan untuk ucapan Cak Nur tentang perbedaan dimensi negara yang rasionil kolektif, dengan dimensi agama yang spiritual pribadi. Rasjidi berkesimpulan, Cak Nur bukan saja berusaha memisahkan agama dari negara, namun juga dari masyarakat.
Syura dan Demokrasi
Selepas Rasulullah SAW wafat tanggal 12 Rabiulawal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada siapapun. Suksesi kepemimpinan pun waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.
Pasca Rasulullah wafat, umat Islam terbelah tiga kelompok. Pertama, ada yang memikirkan suksesi kepemimpinan, tentang siapa pengganti Rasulullah. Kedua, sebagian umat Islam sibuk mengurusi jenazah umat Islam. Sedangkan ketiga, sebagian umat Islam tidak auch, alias tidak tahu menahu soal wafatnya Rasulullah.
Sebagian kelompok umat Islam yang melakukan pemilihan pengganti Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sebagai awal munculnya syura dalam Islam. Itulah yang kita sebut demokrasi dalam Islam.
Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Islam tidak melarang umatnya untuk berdemokrasi, bahkan Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SAWT berfirman, ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.”
Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan.
Syura merupakan sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik.
Apa kaitan antara Islam dan demokrasi di Indonesia? Apakah Islam sejalan dengan demokrasi atau sebaliknya? Bagaimana kira-kira konstribusi Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa datang? Apakah Islam di Indonesia masih punya masa depan? Empat untai pertanyaan sederhana namun penting ini relevan diajukan pada khazanah Islam yang mendedahkan wacana Islam dan demokrasi di Indonesia.
Membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya.
Justeru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islam pun, tentu saja, amat beragam. Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. Setidaknya, inilah poin penting dan pelajaran yang bisa kita ambil setelah menelaah buku-buku yang temanya saling bersentuhan, meskipun tidak bisa dikatakan sama persis alur bercerita dan isinya.
Jika dibandingkan antara buku yang satu dengan yang lainnya, maka ada (nuansa) persamaan-persamaannya, tapi juga ada (nuansa) perbedaan-perbedaannya. Dibandingkan buku lainnya, karya Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001, Edisi Bahasa Indonesia), tampaknya lebih menarik dan bermutu, baik dari cara penyajiannya maupun bobot isinya. Untuk itu, khazanah dalam tulisan ini, lebih difokuskan pada karya Hefner.
Entah kenapa para ilmuwan dan Indonesianis yang berasal dari Barat (atau luar Indonesia) sebut saja di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Fealy, Greg Barton, Daniel Lev, William Liddle, Harold Crouch, Mitsuo Nakamura, dan Hefner sendiri, seringkali menelorkan karya yang lebih menarik dan berbobot, dibandingkan dengan karya para ilmuwan Indonesia jika membahas tema yang (hampir) sama berkaitan dengan fenomena Indonesia. Ilmuwan asing tampaknya lebih cermat, tekun, teliti, profesional, dan luas perspektif keilmuannya dibandingkan dengan ilmuwan Indonesia. Ini bukan pandangan yang bias asing, melainkan berbicara tentang kenyataan.
Kita bisa periksa dan bandingkan antara karya ilmuwan asing dengan ilmuwan Indonesia, tentang berbagai hal yang berbau Indonesia yang cukup banyak bertebaran di tanah air. Sebutlah buku yang sama-sama punya titik sentral telaah wacana Islam dan Politik di Indonesia pada era Orde Baru. Cuma untuk sekadar perbandingan, beberapa buku memulainya dengan wacana Islam dan politik pada era Orde Lama.
Untuk menepis kesalahpahaman tentang bukunya yang mengekspos wacana “demokrasi”, terlebih dahulu Hefner mengajak pembaca untuk meletakkan wacana “demokrasi” pada proporsinya yang pas. Hal ini penting karena hingga sekarang, demokrasi—yang antara lain berisi nilai-nilai pluralisme, kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi, dan partisipasi—di satu sisi mempesona banyak orang, tapi di sisi lain juga mengundang skeptisisme.
Kelompok yang skeptis biasanya memandang demokrasi sebagai wacana yang berasal dari Barat, yang tentu saja tidak mungkin sesuai dengan budaya lain di luar Barat. Bahkan ada yang menganggap bahwa demokrasi, juga civil-society (dari sini mungkin Hefner mendapat istilah “civil-Islam”), merupakan cangkokan dari Barat, dan bagian dari proyek imperialisme Barat yang terselubung dengan retorika yang manis, enak, dan menarik. Inilah kecongkakan dan kekejaman Barat yang membungkus proyek Imperialisme dengan retorika yang indah dan luhur.
Hefner sebagai orang Barat mungkin saja bisa dianggap bias Barat. Demokrasi secara geneologis berasal dari Barat. Tapi, Hefner dan Barat ternyata juga punya argumentasi yang (cukup) baik untuk menepis prasangka-prasangka itu. Dalam dua titik ekstrem sikap terhadap demokrasi, baik yang menerima secara utuh maupun menolaknya, maka biasanya muncul “jalan tengah” yakni sikap kritis untuk belajar dari nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Yang bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal pun bisa dipakai, sementara yang tidak bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal sebaiknya ditepiskan. Hefner sendiri punya keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat.
Kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut Hefner, beberapa pemikir muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis. Dalam konteks ini, Hefner memutuskan untuk malampaui batas-batas pelatihan akademiknya dan bersepakat bagaimana seseorang berpikir tentang demokrasi dan reformasi agama dalam tradisi non-Barat. Penerimaan gagasan demokrasi di luar Barat tidaklah menjanjikan kebenaran, tapi lebih memperkaya.
Kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga.
Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan. Bahkan, di Eropa Barat modern, kita tahu keseimbangan capaian antara nilai-nilai demokrasi beragam menurut tempat dan waktu (hlm. 356). Sejarah tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman kita tetap zaman percobaan demokrasi, dan apakah lebih baik atau lebih buruk, putusan sejarah akan beragam.
AL-MAUDUDI
Al-Maududi adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islamtetapi banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini adalah keekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .
Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al- Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalammengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalahwajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karenadaulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut:“
Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkankonstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra,daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah,melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.” (Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)
Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi menurut Maududi dengan konsep khilafahmaka islam akan berhasil dan dapat melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negaraseluruh dunia dengan penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan olehRasulullah saw.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi idetheokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teorikedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnyakedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan.
Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatanrakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalamkenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang
sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Seperti halnya dengan Mohammad Natsir Maududi mengkritik keras sistem demokrasitetapi berbeda dengan mohammad Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem demokrasisecara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam adalah sistem khilafah dantelah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam. Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segalahal karena mengikuti perkembangan zaman.
TARIQ RAMADHAN
Tariq Ramadhan yang namanya sangat terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokohmuslim di dunia barat yang pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yangtinggal di barat. Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umatmuslim yang memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkanidentitas kemuslimannya.
Begitu juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda) kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h.242).
Seperti yang kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada didalam al-quran tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya
dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi bahwa Demokrasi dapatdijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari Maududi bahwa bahwa hanyasistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan kejayaan Islam di zaman Rasulullah sawdan dapat dipandang oleh dunia internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapatmelindungi umatnya sebagaimana di zaman Rasulullah saw
Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur, sapaan pendakwah legendaris ini juga sering disebut sebagai seorang pembaharu.
Sebutan ini tidak berlebihan jika melihat pemikirannya yang menyintesis Islam dan demokrasi, di tengah para pemikir Islam konservatif yang justru menolak demokrasi.
Dalam 'Islamo-Demokrasi' (Anas Urbaningrum, 2004), prinsip-prinsip dasar Islam, bagi Cak Nur, bukan saja tidak bermusuhan dengan demokrasi, malahan mampu memberikan substansi moral secara lebih maknawi. Bagi Cak Nur, Islam justru memberikan banyak kontribusi bagi demokrasi.
Di tengah banyak pengagum, tak jarang pula yang mengkritik profesor jebolan Universitas Chicago ini. Cak Nur dianggap telah menyebarkan sekulerisasi politik di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari ucapannya pada tahun 1970-an: 'Islam Yes, Partai Islam No'.
Dengan kata lain, Cak Nur menolak Islam sebagai ideologi dan menegaskan Pancasila sebagai dasar untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, melalui pendekatan kultural.
Lontaran Cak Nur itu terbilang cukup kontroversial jika melihat aliran politik Indonesia pada saat itu - dan mungkin juga sampai sekarang - masih belum bisa lepas dari akar sosial keagamaan yang kuat. Bahkan, bagi sebagian orang, ucapan itu sangat provokatif.
Adalah Prof. Dr. HM Rasjidi yang mengkritik habis-habisan Cak Nur. Bagi Rasjidi, kata-kata mantan Rektor Universitas Paramadina itu, bukan kata-kata orang yang percaya pada Quran. (TEMPO, 13 Januari 1973)
Penilaian itu utamanya ditujukan untuk ucapan Cak Nur tentang perbedaan dimensi negara yang rasionil kolektif, dengan dimensi agama yang spiritual pribadi. Rasjidi berkesimpulan, Cak Nur bukan saja berusaha memisahkan agama dari negara, namun juga dari masyarakat.
Syura dan Demokrasi
Selepas Rasulullah SAW wafat tanggal 12 Rabiulawal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada siapapun. Suksesi kepemimpinan pun waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.
Pasca Rasulullah wafat, umat Islam terbelah tiga kelompok. Pertama, ada yang memikirkan suksesi kepemimpinan, tentang siapa pengganti Rasulullah. Kedua, sebagian umat Islam sibuk mengurusi jenazah umat Islam. Sedangkan ketiga, sebagian umat Islam tidak auch, alias tidak tahu menahu soal wafatnya Rasulullah.
Sebagian kelompok umat Islam yang melakukan pemilihan pengganti Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sebagai awal munculnya syura dalam Islam. Itulah yang kita sebut demokrasi dalam Islam.
Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Islam tidak melarang umatnya untuk berdemokrasi, bahkan Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SAWT berfirman, ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.”
Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan.
Syura merupakan sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik.
buku yang dijual tentang demokrasi :
PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!
thanks if u comments