Wara Warta

menulis berdasarkan pendapat pengalaman dan refrensi

KAMI PUNYA BANYAK DATABASE CARI ATAU BACA ARTIKEL YANG LAINYA

Kamis, 09 Mei 2013

tantangan ekonomi kerakyatan di masa depan

Masa Depan Ekonomi Indonesia
Ekonomi Amerika Serikat kembali mengalami tekanan berat dan di ambang resesi. Jika pada 2008 permasalahan kredit perumahan (subprime mortgage) memicu krisis keuangan di AS yang membawa krisis global, pada 2011 permasalahan utang pemerintah memicu kekhawatiran pelaku ekonomi, sementara itu kalangan politisi tidak mempunyai kata sepakat bagaimana mengatasi permasalahan ini.

Perekonomian AS kemungkinan akan tumbuh rendah kalau tidak resesi atau pertumbuhan negatif. Dengan utang pemerintah yang dalam waktu dekat akan mencapai sekitar 100 persen dari PDB, permasalahan ini sangatlah sulit untuk dipecahkan. Kongres sepakat memotong anggaran pemerintah 2,5 triliun dollar AS dalam 10 tahun ke depan atau sekitar 250 miliar dollar AS setiap tahun.

Pemotongan ini akan membawa konsekuensi serius terhadap pemerintah dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, dunia usaha AS semakin enggan melakukan investasi dan cenderung menyimpan dananya dalam bentuk tunai atau menempatkannya dalam surat berharga AS yang imbal hasilnya terus menurun. Hanya dengan menjaga likuiditas di pasar, bank sentral AS membuat perekonomian AS dapat mengambang di permukaan.

Namun, likuiditas tersebut tidak diinvestasikan, tetapi banyak yang disimpan kembali di bank atau di surat berharga pemerintah. Likuiditas yang mengalir ke negara berkembang kecenderungannya juga banyak yang kembali lagi ke AS untuk cari selamat.

Ekonomi AS dengan PDB sekitar 15 triliun dollar AS masih merupakan perekonomian terbesar di dunia, yang tidak dapat digantikan oleh perekonomian lain dalam waktu dekat. Ekonomi China masih sepertiga ukurannya dari AS. Tambahan lagi ketergantungan China terhadap perekonomian AS sangat besar sebagai pasar ekspor dan tempat menyimpan cadangan devisa. Karena itu, jika perekonomian AS mengalami krisis, pengaruhnya akan menyebar ke seluruh dunia.

Perekonomian AS memang masih akan terus bergerak sekalipun kecenderungannya melemah, dan dengan pengangguran sekitar 9,1 persen belum mengalami keadaan seburuk Depresi Besar dengan pengangguran sekitar 25 persen. Namun, perekonomian AS kemungkinan, cepat atau lambat, akan tidak lagi menjadi ekonomi nomor satu di dunia. Jika penentu kebijakan AS dan pelaku ekonominya realistis, transisi perekonomian AS untuk terus berkembang sekalipun akan turun jadi nomor kedua dalam 1-2 dekade ke depan, akan berjalan baik. Namun, pertentangan berkepanjangan di antara pimpinan politik dan keengganan dunia usaha untuk melakukan investasi akan membahayakan tidak saja perekonomian AS, tetapi juga perekonomian dunia.

Keadaan perekonomian Eropa lebih mengenaskan. Integrasi ekonomi Eropa mengalami ancaman serius dengan krisis utang publik di negara-negara anggota di pinggiran, seperti Yunani, Irlandia, Portugal, juga Spanyol dan Italia. Rasio utang publik mereka pada umumnya jauh melebihi PDB-nya. Upaya penanganan permasalahan ini sangat bergantung pada dua negara utama, yaitu Jerman dan Perancis, yang semakin kewalahan untuk dapat bertindak secara efektif.

Perekonomian Jerman dan Perancis juga mengalami pelemahan dan sangat sulit untuk dapat menanggung beban permasalahan negara lainnya. Dapat dikatakan masa depan ekonomi Eropa kelam, kecuali Jerman dan Perancis. Tindakan memotong anggaran secara drastis akan menimbulkan reaksi sosial sangat buruk, seperti terjadi di Yunani dan Inggris.

Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan besar dunia seperti Romawi, Bani Umaniyah, Spanyol, dan Inggris mengalami keruntuhan atau penurunan kejayaan, antara lain, karena permasalahan besarnya utang publik yang tidak dapat ditangani dengan baik, sementara kegiatan pemerintah, terutama militer dan program- program distributif, membutuhkan dana yang besar tanpa imbal hasil yang jelas. Akibatnya, investasi swasta berpindah ke tempat lain yang lebih mendukung bagi berkembangnya kegiatan usaha.

AS tentu saja tidak akan terhindar dari ”hukum sejarah” ini. Tentu harapan kita adalah tidak terjadinya keruntuhan ekonomi AS yang akan membawa krisis mendalam bagi perekonomian dunia, tetapi AS dapat mengatasi permasalahannya dengan baik, sebagaimana mengatasi permasalahan-permasalahan sebelumnya, dengan contoh utama pemulihan dari Depresi Besar, dan beberapa krisis setelahnya. Namun, bagaimanapun, AS dalam waktu tak terlalu jauh ke depan tak akan lagi menjadi perekonomian terbesar di dunia.

Pergeseran kekuatan ke Asia
Sementara itu, pergeseran kekuatan perekonomian akan semakin nyata ke Asia, dengan China pada posisi terdepan. Hanya permasalahan waktu China akan menjadi perekonomian terbesar di dunia. Jika perekonomian AS dapat direstrukturisasi dan ditransformasikan, tidak mengalami krisis yang dalam, maka peluang China akan semakin besar. Namun, jika perekonomian AS mengalami krisis berkepanjangan, perekonomian dunia, termasuk China, akan menderita juga.

Pergeseran kekuatan ekonomi ditandai oleh semakin kuatnya integrasi perdagangan dan investasi. Peran sektor keuangan yang terlalu jauh melaju cepat sendiri, layaknya kuda yang meninggalkan keretanya, akan menyesuaikan dengan perannya yang lebih proporsional. China, walaupun akan jadi kekuatan terbesar dunia, tidak akan mengikuti pola kapitalisme keuangan yang dikembangkan Inggris dan AS. Kecenderungan perekonomian besar dan dunia akan kian mengedepankan perdagangan dan investasi di kegiatan riil ekonomi, tak lagi didominasi investasi produk keuangan yang sangat spekulatif.

Ciri berikutnya, perekonomian yang akan tampil ke depan adalah perekonomian dengan jumlah penduduk yang besar, seperti China, India, Brasil, dan tentu saja peluang terbuka untuk Indonesia. Sejarah juga menunjukkan kemajuan China, seperti pada abad ke-12 hingga ke-15, juga sejalan dengan perkembangan di Nusantara. Dalam perekonomian dengan penduduk besar ini, permasalahan utama adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekonomi produktif dan ketimpangan pendapatan. Jika masyarakat tidak terlibat secara memadai dalam kegiatan ekonomi produktif melalui kesempatan kerja dan ketimpangan pendapatan terlalu tinggi, perkembangan ekonomi mereka akan terancam oleh konflik sosial.

Tampaknya, perkembangan sejarah ekonomi dunia akan seperti itu, menurun dan melemahnya perekonomian negara maju, terutama AS dan Eropa, serta berkembangnya perekonomian dengan jumlah penduduk yang sangat besar, terutama di Asia. Namun, perkembangan ini masih mempersyaratkan bahwa perekonomian negara maju, terutama AS, tidak mengalami krisis berkepanjangan.

Dalam jangka waktu yang lebih pendek, perekonomian AS masih akan belum keluar dari permasalahan utamanya berkaitan dengan manajemen utang publik yang besar dan keengganan dunia usaha untuk melakukan investasi serta keengganan masyarakat untuk berbelanja.

Sementara itu, tidak dapat dihindarkan, negara-negara pinggiran Eropa akan mengalami default sehingga masa depan mata uang tunggal Eropa, euro, menjadi semakin sulit untuk dipertahankan, dengan kemungkinan besar negara pinggiran tersebut akan terpaksa harus keluar atau dikeluarkan dari mata uang tunggal euro.

Bagi perekonomian dunia, keadaan ini akan masih terus membayangi, yang tentu saja membuat pertumbuhan ekonomi dunia menjadi rendah. Dalam keadaan ini, mengacu pada pengalaman krisis 2008, perekonomian negara berkembang, terutama China dan India, masih dapat tumbuh relatif tinggi. Bagi Indonesia, pertumbuhan juga masih positif sekalipun tidak tinggi.

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia tidaklah terlepas dari ketidakpastian perekonomian di AS dan Eropa. Sekalipun perekonomian Indonesia sangat dicirikan oleh ekonomi domestik, dengan ekspor hanya sekitar 28 persen dari PDB dan rekan dagang utama adalah Jepang dan China, AS dan Eropa masih punya pengaruh penting dalam perekonomian Indonesia. Apalagi rekan dagang utama Indonesia di Asia lebih bergantung pada perekonomian AS dan Eropa.

Faktor yang sangat berpengaruh dari ketidakpastian ini adalah di sektor keuangan, terutama pasar modal dan obligasi. Sekalipun pasar modal dan obligasi belumlah dominan dalam perekonomian Indonesia, dengan penguasaan asing yang besar, sekitar 35 persen untuk Surat Berharga Negara (SBN), dan sekitar 60 persen kapitalisasi pasar modal, ketidakpastian ekonomi dunia sangat berpengaruh pada pasar modal dan obligasi.

Apa yang dapat dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia adalah apa yang telah mulai dijalankan, yaitu menstabilkan pasar SBN, antara lain dengan membelinya dengan mempergunakan cadangan devisa. Cara ini baik tidak saja dalam menstabilkan pasar SBN, tetapi juga menstabilkan nilai rupiah dan memperbaiki neraca BI yang terlalu didominasi surat berharga luar negeri dari pengelolaan cadangan devisa. BI juga akan makin mengarah pada penggunaan SBN dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) jangka pendek, terutama tiga bulan, dalam kebijakan moneternya.

Apa yang sudah dilakukan juga adalah BI menjaga ketersediaan likuiditas bagi perbankan. Tentu saja kekhawatiran BI bahwa ini akan menambah likuiditas di pasar yang dipandang sudah berlebih tetap menjadi perhatian. Namun, perlu dicatat bahwa inflasi terutama adalah fenomena kenaikan harga pangan yang disebabkan permasalahan pasokan dan distribusi, bukan fenomena moneter. Kelebihan likuiditas yang disimpan kembali di BI dalam bentuk SBI dan term deposit di BI, yang jumlahnya sekitar Rp 500 triliun, terutama karena kredit yang sudah diputuskan bank belum dapat direalisasikan, terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.

Jika pembangunan infrastruktur dan sektor riil, terutama manufaktur, dapat dijalankan dan dikembangkan, kelebihan likuiditas itu akan segera berubah menjadi kekurangan likuiditas di perbankan. Menjadi tugas pemerintah untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur yang sejauh ini masih mengecewakan. Sementara perkembangan sektor riil, terutama manufaktur, telah menunjukkan perkembangan berarti dengan pertumbuhan sekitar 6 persen.

Untuk menjadi perekonomian maju bukanlah anugerah, tetapi perjuangan keras untuk memanfaatkan ”kehendak sejarah” tersebut.

berguru pada pereknmian yang terdaulu 

Apa yang menyebabkan krisis?
Berbagai kajian yang menelaah krisis keuangan Asia telah banyak dilakukan, dari berbagai sudut pandang pula. Secara umum terlihat suatu pola dan karakteristik yang berlaku sama di seluruh negara yang dilanda krisis. Namun, dalam hal kedalamannya dan jangka waktunya, Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Sulit mencari pembandingnya, barangkali negara yang paling layak untuk dibandingkan waktu itu adalah Rusia, dan sekarang mungkin Argentina. Oleh karena itu, dalam uraian berikut kita akan mengkaji secara singkat mengapa krisis di Indonesia begitu parah, dan mengapa pemulihannya begitu lambat (lihat juga Kartasasmita 2001).

Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya, sama sekali tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.

Walaupun sesungguhnya telah terasa adanya indikasi ketidakberesan dalam pola pertumbuhan ekonomi Indonesia (Kartasasmita 1996) serta kerapuhan sektor perbankan, khususnya yang berkaitan dengan pinjaman bisnis properti, suasana (mood) dan perasaan berbagai kalangan di Indonesia masih tetap percaya diri. Ada alasannya mengapa orang di Indonesia dan juga masyarakat internasional masih merasa begitu yakin tentang ketahanan ekonomi Indonesia menghadapi gelombang krisis keuangan itu. Pada saat itu defisit neraca berjalan terhitung paling rendah di antara lima negara Asia yang dilanda krisis. Nilai ekspor tahun 1996, walaupun lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 1995, masih menduduki peringkat terbesar kedua. Anggaran juga selalu surplus sejak beberapa tahun sebelumnya. Pertumbuhan angka kredit juga cukup rendah (modest) bila dibandingkan dengan yang ada di negara-negara lain di Asia, khususnya yang pertumbuhannya cepat. Jaminan terhadap hutang luar negeri dari bank-bank komersial pada prinsipnya juga sangat rendah bila dibandingkan dengan yang ada di negara yang terkena krisis lainnya, sedangkan pasar modal (stock market) tetap kuat sampai awal tahun 1997.

Semua itu berfungsi sebagai indikator adanya buoyant mood pada saat itu. Sebagai ilustrasi, sampai dengan bulan September 1997, pemerintah tetap mempelajari dan bernegosiasi untuk membeli satu skadron pesawat tempur buatan Rusia dengan biaya kurang lebih sebesar US$500 juta, tetapi diupayakan dengan cara imbal-beli. Rencana ini akhirnya, tentu saja, dibatalkan ketika kemudian makin jelas bahwa situasi yang dihadapi ternyata jauh lebih buruk dari yang dipikirkan banyak orang, termasuk para menteri di bidang perekonomian saat itu. Indonesia benar-benar menderita, dan paling menderita di antara negara lainnya. Tetapi, mengapa ini bisa terjadi? Berdasarkan pertimbangan saya, setidaknya ada empat faktor yang dapat menjelaskan situasi Indonesia tersebut.

Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan.

 Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri.

Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka. Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).

Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.

 Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”.

Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, ratarata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi.

Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

Benar apa yang diidentifikasikan Greenspan (1998, seperti dikutip Kelly dan Olds 1999) bahwa akar persoalan dari krisis keuangan Asia terletak pada kesalahan manajemen ekonomi di mana tanda-tanda yang diberikan pasar tidak diikuti dengan penyesuaian kebijakan (adjustments) sebelum gelembung persoalan tersebut menghambur. Jadi, ketika para manajer keuangan di tingkat global mendeteksi adanya kesenjangan (disparity) antara nilai tukar dengan persaingan global, para investor dan spekulan mulai memindahkan kapitalnya ke luar. Ketika lingkaran tadi terputus, maka menyebarlah penyakit keuangan itu ke seantero wilayah. Situasi diperkeruh oleh ramainya pembelian dolar, yang sebagian digunakan untuk mengadakan hedging atas hutang luar negeri, tetapi setelah terlambat, dan yang sebagian lagi karena kekhawatiran masyarakat atas gejolak politik dan kerusuhan sosial yang merebak waktu itu.

Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini.

Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
Upaya Pemulihan

Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin luas dari masyarakat, yang diujungtombaki mahasiswa, akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Presiden Habibie meminta saya untuk tetap duduk sebagai Menko Ekuin di kabinetnya, dan tetap melanjutkan upaya pemulihan seperti yang telah dirintis sebelumnya. Dalam tempo singkat pemerintah baru bergerak cepat dengan serangkaian kebijakan yang didukung oleh masyarakat internasional. Tujuannya adalah untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada perekonomian dan segera memacu pemulihan ekonomi.

Agenda pemulihan dimaksud ditempuh melalui lima program, yaitu: (1) mengembalikan stabilitas makro ekonomi; (2) melanjutkan reformasi struktural; (3) merestrukturisasi system perbankan; (4) menyelesaikan masalah hutang swasta; dan (5) mengurangi dampak krisis pada penduduk miskin melalui pelaksanaan JPS (jaring pengaman sosial/social safety net). Semua itu harus dilakukan secepat mungkin. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah berhasil meredam tingkat kerusakan ekonomi akibat krisis, bahkan mampu mengembalikan Indonesia pada jalur pemulihan yang benar.

 Hal ini terbukti dengan mulai pulih dan stabilnya nilai tukar rupiah menjadi Rp6.500 sampai Rp7.500 perdolar, dalam kurun waktu yang cukup lama, sampai menjelang pemilihan presiden di bulan Oktober 1999. Inflasi juga terkendali, dari hampir 80% pada tahun 1998 menjadi 2% saja pada tahun berikutnya (1999). Dengan kondisi ini tingkat suku bunga dapat turun dari sekitar 80% menjadi 11-12%. Konsumsi dalam negeri mulai pulih, khususnya dalam permintaan terhadap industri otomotif dan industri konstruksi. Pendek kata, turbulensi ekonomi itu dalam waktu singkat telah berhasil dikendalikan.

Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi Indonesia telah melampaui titik nadir dan telah mulai akan tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu ekonomi berhasil tumbuh sedikit dengan peningkatan PDB sebesar 0,3%. Seandainya momentum pemulihan ekonomi dapat dijaga secara konsisten, berdasarkan prediksi waktu itu, maka pertumbuhan pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 4-5%. Yang terpenting adalah bahwa ekspor kembali bergairah, antara lain karena para eksportir menikmati keuntungan atas terdepresiasinya nilai mata uang rupiah. Kecenderungan ini relatif berlaku sama untuk negara-negara yang dilanda krisis, seperti Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.

Untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat miskin, dengan cepat diberlakukan program JPS dalam berbagai bentuk, seperti: penyediaan subsidi beras untuk keluarga miskin; pemberian bea siswa untuk murid dari SD hingga perguruan tinggi (pelayanannya mencapai 1,7 juta murid); pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi keluarga miskin; dan pembangunan prasarana desa melalui program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja secara massal. Pada waktu yang bersamaan, produksi padi telah kembali ke posisi semula, seperti kondisi sebelum krisis. Hal ini, selain karena iklim telah mulai pulih ke kondisi normal, juga karena ditunjang oleh berbagai program pemberdayaan petani yang meliputi pemberian kredit usaha tani dan bantuan teknis melalui perguruan tinggi setempat, LSM, dan koperasi.

Rekonstruksi ekonomi seperti yang telah digambarkan di atas dilaksanakan melalui cara konstitusional, dengan berbagai undang-undang dan peraturan, yang dibarengi pula dengan pembentukan lembaga baru sesuai kebutuhan. Contohnya, pemerintahan Habibie memperkenalkan undang-undang baru tentang kepailitan yang memberikan kepastian hokum kepada kreditur maupun debitur, serta menetapkan mekanisme penyelesaian hutang swasta melalui apa yang dikenal sebagai Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative Task Force) .

Langkah reformasi lainnya, antara lain, penutupan atau pengambilalihan bank yang tidak sehat dan yang melanggar ketentuan; memperkuat BP PN dengan mempertegas status kelembagaan dan mengisinya dengan SDM yang profesional; menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen; menetapkan peraturan untuk menjamin praktik bisnis yang kompetitif, sehat, dan anti-monopoli; serta bekerja sama dengan sektor swasta dalam membangun good corporate governance.

Sejalan dengan langkah reformasi di bidang ekonomi ini, pemerintahan Habibie juga memulai reformasi di bidang politik sebagai landasan hidup berdemokrasi, termasuk penyelesaian isu politik yang sensitif di forum internasional, yaitu kasus Timor Timur. Pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Juni 1999, dan yang dicatat sebagai pemilihan umum multipartai yang sangat demokratis dengan disaksikan oleh para pengamat dari seluruh dunia.

Kemudian diikuti dengan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden, dan ini pun dicatat sebagai pemilihan presiden yang paling demokratis sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Langkah lainnya masih banyak lagi. Hak asasi manusia dihormati dan penegakan hokum diupayakan terus menerus. Kepolisian dipisahkan dari tentara (TNI), dan tentara berada di bawah pengendalian sipil. Kontrol atas media massa dicabut, kebebasan pers diberlakukan, kebebasan berserikat dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat dijamin. Serikat buruh tidak lagi dibatasi.

Peran IMF
Wacana tentang krisis keuangan Asia tidak akan lengkap tanpa menelaah peran masyarakat internasional, terutama yang diwakili oleh IMF. Pentingnya peran IMF ini bagi masyarakat internasional menjadi sangat jelas ketika akhir bulan Maret 1998, di penghujung masa tugas saya sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dalam Kabinet Pembangunan V, sebelum diangkat menjadi Menko Ekuin dalam Kabinet Pembangunan VI (kabinet terakhir Presiden Soeharto), saya menerima telepon langsung dari Robert Rubin, Menteri Keuangan Amerika (US Secretary of Treasury). Rubin menyampaikan bahwa pemerintah Amerika sangat peduli atas situasi Indonesia yang makin memburuk, dan berniat untuk membantu. Akan tetapi ia pun berkata, bahwa syarat pertama yang harus ditempuh Indonesia adalah memperbaiki hubungannya dengan IMF, karena pemerintah Amerika hanya dapat membantu melalui tangan IMF. Dalam waktu yang hampir bersamaan saya juga mendapat pesan yang senada dari pemerintah Jepang dan Jerman. Ketiga negara itu adalah “donor” terpenting bagi Indonesia. Jangan lupa bahwa saat itu hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF sedang berada dalam kondisi membeku. Pasalnya, pemerintah Indonesia menganggap IMF, dengan segala persyaratan bantuan yang mengikat, terlalu jauh melakukan intervensi ke masalah dalam negeri. Sebaliknya, IMF menganggap Indonesia telah mengingkari komitmen sebelumnya.

Kalau kita menengok ke belakang, ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari keterlibatan IMF dalam membantu negara-negara yang dilanda krisis. Banyak kalangan berpendapat bahwa sejak awalnya IMF, telah melakukan kesalahan dalam menangani krisis itu. Ibaratnya telah memberikan resep yang salah. Keputusan pemerintah untuk menutup 16 bank pada bulan November 1997 awalnya disambut dengan meriah, bahkan dipandang sebagai “kemenangan kaum reformis di kabinet” karena sebagian dari bank-bank itu dimiliki oleh keluarga Presiden Soeharto. Namun, penutupan bank-bank tersebut dilakukan tanpa melalui persiapan yang matang, sehingga akhirnya tidak membangkitkan kepercayaan masyarakat, tetapi justru sebaliknya. Karena garansi terhadap deposito belum diberlakukan (dan tidak diberlakukan sampai tiga bulan kemudian), ditambah desas-desus bahwa akan banyak bank lain yang ditutup, maka ketidakpastian dalam pasar keuangan semakin menebal, akibatnya menambah tekanan negatif kepada nilai tukar.

 Beberapa pengamat seperti Sachs dari Harvard bahkan berspekulasi bahwa para pelaku bisnis yang penting merasa khawatir tidak akan sanggup mempertahankan posisinya lagi di Indonesia, mengingat Presiden pun tidak dapat melindungi kepentingan bisnis keluarganya sendiri. Dalam pandangan ini, apa yang tadinya ingin diperlihatkan pemerintah sebagai usaha mengikis nepotisme dari akarnya, justru terlihat sebagai tanda-tanda kelemahan pemerintah sendiri. Ini memperburuk situasi dan akhirnya memicu pelarian modal lebih besar lagi. Fakta bahwa kemudian salah satu dari bank yang ditutup dapat beroperasi kembali, walaupun dengan nama yang baru, hanyalah menambah kerancuan dan semakin menghilangkan kepercayaan terhadap pemerintah pada waktu itu.

Perhatian IMF yang terlalu banyak dicurahkan untuk reformasi struktural di tengahtengah krisis juga sering dipertanyakan. Dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang pertama maupun kedua, perhatian terhadap program reformasi structural cukup banyak diberikan, tetapi perhatian terhadap upaya nyata yang substansial untuk menanggulangi kedua penyebab utama dari krisis, yaitu kegagalan sistem perbankan dan hutang swasta, sangat kurang atau tidak mencukupi. Awalnya IMF memaksa Indonesia untuk menjalankan kebijakan uang ketat (tight fiscal and monetary policies), yang mengharuskan surplus anggaran pada saat suku bunga tinggi, dan cenderung masih meninggi, sehingga akhirnya menghambat investasi dan permintaan konsumsi. Akhirnya, memang persyaratan tersebut berubah dan selanjutnya IMF mengalihkan posisinya dan mendorong pemerintah agar memberlakukan defisit fiskal untuk merangsang ekonomi.

Salah satu “cacat” terbesar dalam formula IMF adalah adanya pemaksaan terhadap kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) pada saat memuncaknya krisis. Tujuannya sepertinya memang baik, yaitu untuk mengurangi dan akhirnya menghapuskan subsidi bahan bakar, sebagai bagian dari upaya perbaikan struktural (structural adjusment) ekonomi Indonesia. Memang benar, bahwa subsidi bahan bakar telah diakui sebagai isu yang perlu segera ditangani. Para menteri di bidang ekonomi sebenarnya telah lama berdebat soal perlunya merubah mekanisme harga BBM, khususnya dengan menunjuk pada subsidi minyak tanah, yang semula dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin tetapi justru menjadi alat redistribusi yang tidak efektif. Perubahan itu memang dibutuhkan, tetapi bagaimana pun juga cara dan waktunya harus tepat. Menaikkan harga minyak selama krisis ekonomi masih berlangsung sungguh tidak bijaksana, bahkan menimbulkan implikasi sosial politik yang serius, karena dalam situasi tersebut pendapatan masyarakat menurun dan banyak orang kehilangan pekerjaan.

Walaupun begitu, IMF tetap bersikeras memaksakan kehendaknya agar subsidi BBM dikurangi sesegera mungkin. Pada waktu bernegosiasi dengan IMF di bulan April 1998, saya berdebat keras agar kenaikan harga BBM ditunda sampai tiba pada saat yang tepat. IMF setuju untuk menunda sampai bulan Juni atau Juli tahun itu. Akan tetapi, Presiden Soeharto, beberapa saat sebelum berangkat ke Cairo di awal Mei 1998, telah memutuskan kenaikan harga BBM secepatnya. Para pembantu beliau, termasuk saya pribadi beserta Menteri Pertambagan dan Energi, telah memperingatkan bahwa keputusan itu merupakan kesalahan yang serius. Presiden Soeharto merasa yakin bahwa kalau harga BBM memang akan dinaikkan, maka pelaksanaannya harus segera. Ternyata timing-nya menjadi senjata makan tuan (backfire). Di hadapkan kepada protes dan demonstrasi mahasiswa, pemerintah terpaksa menarik kembali keputusannya tentang kenaikan harga BBM itu. Ini merupakan indikasi tambahan makin melemahnya kewibawaan pemerintah, karena tidak mampu mempertahankan kebijakannya sendiri.

IMF juga dicurigai telah membawa interest politik negara-negara donor lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara yang dibantunya. Contohnya, ketika situasi di Timor Timur memburuk IMF secara sepihak menghentikan proses negosiasinya dengan pemerintah Indonesia.

Apa yang dikatakan tadi, tidaklah berarti bahwa IMF tidak berperan sama sekali. Peran IMF justru sangat terasa pada tahap berikutnya ketika upaya pemulihan ekonomi berlangsung, dan pemerintah Indonesia berhasil membangun kembali hubungan yang efektif dengan IMF, diperkuat oleh dialog-dialog terbuka. Hasilnya, seluruh agenda reformasi dan implementasinya tidak lagi dipandang sebagai program IMF belaka, tetapi juga merupakan program pemerintah Indonesia, sehingga terbentuk rasa memiliki (sense of ownership) terhadap seluruh paket reformasi. Suka atau tidak suka kepada IMF, setuju atau tidak setuju terhadap resep IMF untuk pemulihan ekonomi, yang pasti adanya dukungan IMF berarti adanya dukungan pula dari masyarakat internasional. Pasar pun secara hati-hati selalu mengamati apakah hubungan suatu negara dengan IMF berjalan baik, apakah kebijakan ekonominya dapat “diterima” IMF, dan apakah pemerintah konsisten dalam melaksanakan agenda dan memenuhi komitmen yang telah disetujuinya bersama IMF.

Bagaimana selanjutnya dengan upaya pemulihan ekonomi?
Awal yang baik dari proses pemulihan ekonomi yang dibarengi dengan meletakkan landasan bagi reformasi di bidang politik, ternyata tidak berkesinambungan. Sepertinya terputus di tengah jalan.
Kita ketahui bahwa reformasi politik dan proses demokratisasi telah melahirkan pemerintah baru yang dipilih secara demokratis oleh MPR yang juga dipilih melalui pemilu yang demokratis pula. Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati telah meredam ketegangan politik dan mengembalikan stabilitas politik. Kehidupan kembali menjadi tenang, dan perhatian masyarakat kembali dicurahkan di bidang ekonomi. Masyarakat banyak menaruh harapan pada pemerintah yang baru, yang diharapkan dapat membimbing bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Proses pemulihan ekonomi ternyata terhenti sama sekali, dan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran di bidang ekonomi. Sebagai akibatnya keadaan politik pun kembali menjadi tidak stabil, dan setiap hari ada saja berbagai isyu dilontarkan justru oleh pemerintah, yang menyebabkan masyarakat menjadi makin terombangambing dalam ketidakpastian. Konflik-konflik sosial menjadi marak kembali dan bertambah luas.

Dalam keadaan demikian proses pemulihan ekonomi menjadi terhambat. Rupiah kembali melemah. Kepercayaan kepada ekonomi Indonesia yang sesungguhnya pada akhir pemerintahan Habibie sudah mulai akan pulih menjadi hilang lagi. Yang lebih memperberat keadaan adalah aset-aset yang dikuasai pemerintah melalui BPPN dalam rangka restrukturisasi perbankan banyak yang menjadi terbengkalai. Dengan hutang yang sama, nilai aset menjadi berkurang. Banyak kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi ditetapkan semata-mata atas pertimbangan politik, tanpa memperhitungkan dampaknya pada bidang ekonomi, misalnya kenaikan gaji PNS yang tinggi, yang ternyata tidak bisa dipikul oleh keuangan negara termasuk oleh pemerintah daerah sehingga harus ditinjau kembali, lahan perkebunan boleh diambil oleh rakyat sampai 40%, dan banyak lagi.

Bukan hanya ekonomi, hukum pun dijadikan sarana untuk tujuan politik.
Akhirnya terjadi lagi krisis politik yang mengakibatkan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid, dan terpilihnya Megawati sebagai Presiden didampingi oleh Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui Sidang Istimewa tahun 2001, yang baru saja kita lalui. Presiden Megawati mewarisi keadaan yang jauh lebih buruk dari pada Presiden Abdurrahman Wahid. Pada akhir pemerintahan Habibie, meskipun krisis ekonomi belum terlampaui dan banyak hal masih harus diselesaikan, setidaknya masalah yang akut telah teratasi, tinggal lagi menyelesaikan masalah-masalah yang memang bersifat kronis yang memerlukan waktu lebih lama dan kebijakan-kebijakan publik di bidang ekonomi yang tepat dan terukur. Namun, hal itu justru tidak tampak dalam pemerintah Abdurrahman Wahid, sehingga Presiden Megawati mewarisi keadaan yang lebih berat lagi.

Terpilihnya Presiden Megawati dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, disambut dengan hangat oleh rakyat Indonesia dan juga mendapat dukungan dari masyarakat internasional. Masyarakat Indonesia kembali tumbuh optimismenya bahwa akhirnya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya akan teratasi walaupun dengan perlahan-lahan. Terutama tim ekonomi mendapat sambutan yang hangat karena dinilai terdiri dari orang-orang yang profesional.

Namun, belakangan ini ternyata optimisme itu makin berkurang, dan telah ada tandatanda bahwa masyarakat mulai kembali menjadi pesimis, seperti pada waktu Presiden Wahid, yang juga diawali dengan suasana yang optimis, dan kemudian berubah menjadi pesimis setelah beberapa bulan tidak ada kemajuan.
Namun, ada beda antara keduanya: secara politik pemerintah Megawati lebih kukuh karena di parlemen para pendukungnya cukup besar. Masyarakat pun sudah mulai “letih” untuk terus-menerus menghadapi krisis politik, dan dirasakan ada semacam tekad atau konsensus bahwa pemerintah Megawati harus dapat bertahan atau dipertahankan sampai 2004, yaitu sampai pemilu yang akan datang.
Dengan demikian, yang dihadapi oleh pemerintah Megawati seyogyanya adalah masalah ekonomi saja, karena pada sisi politiknya relatif aman.

Memang banyak masalah yang dihadapi di bidang ekonomi sebagaimana layaknya sebuah negara yang sedang dalam krisis. Namun, yang paling menonjol adalah masalah hutang. Bukan hanya besarnya hutang (debt stock) yang memang sudah cukup besar, tetapi terutama bebannya pada anggaran. Apabila beban hutang itu dapat berkurang, maka akan tersedia dana yang lebih besar untuk kegiatan-kegiatan pembangunan, terutama untuk memperbaiki dan membangun kembali berbagai prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan.

Banyak orang merasa sangat pesimis dengan masalah hutang ini seakan-akan beban itu tidak akan pernah bisa teratasi.

Marilah kita sejenak membicarakan isu utama yang telah membuat banyak orang pesimistis itu, yaitu hutang pemerintah. Sebagaimana diketahui, hutang luar negeri pemerintah Indonesia saat ini sekitar US$75 milyar, termasuk hutang kepada IMF, dan Rp650 triliun hutang domestik yaitu sebagai akibat krisis di sektor perbankan. Berdasarkan nilai tukar saat ini, rasio hutang pemerintah terhadap PDB hampir sekitar 100%. Pada tahun ini, pembayaran bunga pinjaman adalah hampir 26% dari total belanja pemerintah pusat. Ini adalah jumlah dana yang besar, dan akan menyulitkan keseimbangan fiskal. Masalah hutang ini dan bebannya ke masa depan menjadi sumber pesimisme di kalangan masyarakat.

Namun sesungguhnya dengan kebijakan pembiayaan yang hati-hati dan tingkat pertumbuhan yang masuk akal, beban hutang tersebut masih ada kemungkinan untuk dapat dikelola (manageable) meskipun tetap tidak mudah. Sebagai contoh, jika pertumbuhan PDB 5% per tahun untuk lima tahun mendatang dan inflasi berkisar 7% per tahun, maka PDB nominal akan tumbuh sekitar 80% dalam periode tersebut. Jika nilai tukar riil relatif konstan dan tidak ada penambahan hutang baru, maka rasio hutang pemerintah terhadap PDB akan turun menjadi sekitar 65%.
Tetapi jika rupiah menguat, rasio hutang terhadap PDB tersebut dapat berkurang, seperti diilustrasikan pada tabel di bawah ini.


PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!

thanks if u comments

Back To Top