Buta Cakil merupakan seorang raksasa dengan rahang bawah yang lebih panjang daripada rahang atas. Tokoh ini merupakan inovasi Jawa dan tidak dapat ditemui di India.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan Arjuna ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah perlambang tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan karena dalam perang kembang tersebut Cakil selalu tewas karena kerisnya sendiri.
Cakil pada panggung Wayang Orang
Cakil pada Panggung Wayang Orang gaya Surakarta. Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan merupakan tari perang yang indah. Di Surakarta perang ini disebut Perang Kembang, sedangkan di Yogyakarta disebut Perang Begal
Tokoh peraga wayang Cakil oleh kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak digelung.
Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang Orang.
Pada adegan itulah biasanya Ki Dalang mempertunjukkan kemahirannya dalam sabetan, yakni ketrampilan menggerakkan peraga wayang. Gerakan sabetan pada Wayang Kulit Purwa, maupun pada gerakan penari pemeran tokoh Cakil dalam pertunjukan Wayang Orang, dipengaruhi gerakan jurus-jurus pencak silat.
Tokoh Cakil hanya terdapat dalam dunia pewayangan Indonesia, dan tidak ada dalam Kitab Mahabarata. Tokoh wayang raksasa, yang kedua tangannya dapat digerakkan (tokoh raksasa pada Wayang Kulit Purwa pada umumnya hanya dapat digerakkan tangan depannya saja, kecuali tokoh raksasa tertentu), itu diciptakan oleh seniman pencipta wayang pada zaman Mataram, tepatnya tahun 1630 atau 1552 Saka. Ini ditandai dengan candra sengakala yang berbunyi Tangan Yaksa Satataning Janma. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Cakil diciptakan pada zaman pemerintahaan Sultan Seda Krapyak, raja Mataram kedua.
Buto Cakil
Bagi penggemar wayang purwo atau wayang kulit seperti kangmas Aswat, sosok buto cakil pasti kenal, kenapa begitu, karena polahnya, pethitha pethithi bak peragawan yang lagi mejeng memamerkan busana buatan sang designer. Cuma yang satu ini keluar dari cerita fiksi yang dibuat oleh para pujangga keraton dan tujuan utama dari cerita wayang ini sebenarnya sungguh elok, karena sarat dengan filsafat atau falsafah kehidupan di alam fana.
Dalam cerita pewayangan ada peran ksatria yang sakti dan selalu berpihak pada kebenaran, ada peran raksasa dalam kehidupan sekarang ini mungkin lebih dikenal sebagai sosok preman, biasanya terkesan sombong, congkak, adigang, adingung, adiguno pokoknya sifat-sifat jelek selalu menempel pada peran ini, ada peran pembantu atau lebih dikenal sebagai peran kembangan, itulah buto cakil yang selalu muncul pada saat permulaan pengembaraan seorang ksatria dalam mengemban tugas memperjuangkan kebenaran. Peran yang terakhir adalah para pinandhito, mereka dalam cerita wayang bertindak sebagai kelompok yang manejemeni kehidupan.
POLITISI CAKIL, DIYAKINI BANYAK BERTEBARAN DI NEGERI INI.
Berwajah halus dan berpenampilan selayaknya ksatria, Cakil adalah simbol kemunafikan.
Cakil tak pernah jadi Bima. Makanya kulitnya selalu mulus, penampilannya bak priyayi, dan meski melengking namun suaranya tetap terdengar seperti celoteh para ningrat. Belum lagi baju batik dan keris disandang, semua semakin memperjelas, seperti apa sebenarnya Cakil memposisikan diri.
Alhasil, apa yang dilakonkan Bima pada Bharata Yudha, pada akhirnya memang tidak pernah ditemui pada Cakil saat perang kembangan. Karena tidak seperti Bima yang kendati berucap dan berperilaku kasar namun memiliki integritas sangat tinggi, Cakil lebih merupakan refleksi pada cermin cekung yang diletakkan pada ruang dua. Bayangannya bersifat maya dan terbalik. Dan, memang itulah Cakil, perlambang kemunafikan. Seluruh penampilannya memang kstaria, namun tetap saja berwajah raksasa. Pemikirannya tetap didominasi mindset raksasa: culas, keji, dan kasar.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan Arjuna ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah perlambang tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan karena dalam perang kembang tersebut Cakil selalu tewas karena kerisnya sendiri.
Cakil pada panggung Wayang Orang
Cakil pada Panggung Wayang Orang gaya Surakarta. Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan merupakan tari perang yang indah. Di Surakarta perang ini disebut Perang Kembang, sedangkan di Yogyakarta disebut Perang Begal
Tokoh peraga wayang Cakil oleh kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak digelung.
Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang Orang.
Pada adegan itulah biasanya Ki Dalang mempertunjukkan kemahirannya dalam sabetan, yakni ketrampilan menggerakkan peraga wayang. Gerakan sabetan pada Wayang Kulit Purwa, maupun pada gerakan penari pemeran tokoh Cakil dalam pertunjukan Wayang Orang, dipengaruhi gerakan jurus-jurus pencak silat.
Tokoh Cakil hanya terdapat dalam dunia pewayangan Indonesia, dan tidak ada dalam Kitab Mahabarata. Tokoh wayang raksasa, yang kedua tangannya dapat digerakkan (tokoh raksasa pada Wayang Kulit Purwa pada umumnya hanya dapat digerakkan tangan depannya saja, kecuali tokoh raksasa tertentu), itu diciptakan oleh seniman pencipta wayang pada zaman Mataram, tepatnya tahun 1630 atau 1552 Saka. Ini ditandai dengan candra sengakala yang berbunyi Tangan Yaksa Satataning Janma. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Cakil diciptakan pada zaman pemerintahaan Sultan Seda Krapyak, raja Mataram kedua.
Buto Cakil
Bagi penggemar wayang purwo atau wayang kulit seperti kangmas Aswat, sosok buto cakil pasti kenal, kenapa begitu, karena polahnya, pethitha pethithi bak peragawan yang lagi mejeng memamerkan busana buatan sang designer. Cuma yang satu ini keluar dari cerita fiksi yang dibuat oleh para pujangga keraton dan tujuan utama dari cerita wayang ini sebenarnya sungguh elok, karena sarat dengan filsafat atau falsafah kehidupan di alam fana.
Dalam cerita pewayangan ada peran ksatria yang sakti dan selalu berpihak pada kebenaran, ada peran raksasa dalam kehidupan sekarang ini mungkin lebih dikenal sebagai sosok preman, biasanya terkesan sombong, congkak, adigang, adingung, adiguno pokoknya sifat-sifat jelek selalu menempel pada peran ini, ada peran pembantu atau lebih dikenal sebagai peran kembangan, itulah buto cakil yang selalu muncul pada saat permulaan pengembaraan seorang ksatria dalam mengemban tugas memperjuangkan kebenaran. Peran yang terakhir adalah para pinandhito, mereka dalam cerita wayang bertindak sebagai kelompok yang manejemeni kehidupan.
POLITISI CAKIL, DIYAKINI BANYAK BERTEBARAN DI NEGERI INI.
Berwajah halus dan berpenampilan selayaknya ksatria, Cakil adalah simbol kemunafikan.
Cakil tak pernah jadi Bima. Makanya kulitnya selalu mulus, penampilannya bak priyayi, dan meski melengking namun suaranya tetap terdengar seperti celoteh para ningrat. Belum lagi baju batik dan keris disandang, semua semakin memperjelas, seperti apa sebenarnya Cakil memposisikan diri.
Alhasil, apa yang dilakonkan Bima pada Bharata Yudha, pada akhirnya memang tidak pernah ditemui pada Cakil saat perang kembangan. Karena tidak seperti Bima yang kendati berucap dan berperilaku kasar namun memiliki integritas sangat tinggi, Cakil lebih merupakan refleksi pada cermin cekung yang diletakkan pada ruang dua. Bayangannya bersifat maya dan terbalik. Dan, memang itulah Cakil, perlambang kemunafikan. Seluruh penampilannya memang kstaria, namun tetap saja berwajah raksasa. Pemikirannya tetap didominasi mindset raksasa: culas, keji, dan kasar.
PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!
thanks if u comments