KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 M
Maulid Nabi saw. adalah kelahiran nabi Muhammad, Rasulullah saw.. Beliau saw. dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai tanggal kelahirannya, para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah ini, dan tidak ada dari mereka yang mengetahui secara pasti, namun menurut buku “Sirah Nabawiyah”, karya Shafiyurrahman Mubarakfury -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad saw. dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah.
Bertepatan dengan itu, terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya adalah, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu, Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah saw. berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di syam.”
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam ka’bah, seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad untuk beliau, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi saw., yang kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum muslimin sejak berlalunya tiga generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.”
Dan dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Binasalah orang yang berlebih-lebihan dalam tindakannya.” (HR Muslim).
Hadis di atas menerangkan larangan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk memujinya secara berlebih-lebihan. “Janganlah kamu sekalian memujiku dengan berlebih-lebihan.” Artinya adalah janganlah kamu sekalian memujiku dengan cara yang bathil, dan janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadis tersebut (laa tuthruni), adalah melampaui batas dalam memuji.
Kenyataannya, kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan mengagungkan orang yang menjadi panutan dan junjungannya, sehingga mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yang seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yang sebenarnya hanya milik Allah. Hal itu karena perilaku mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung panutan mereka.
Sebelum Fatimi jatuh, perayaan maulid juga dirayakan dilingkungan islam sunni pada zaman Nur al-Din, juga di Syiria, bahkan juga diselenggarakan di Makkah. Diduga peringatan maulid di lingkungan orang sunni lebih bermuatan sosial politik dalam rangka melihat kesetiaan pejabat yang diundang bahkan dari hadiah yang dipersembahkan kepada penerimanya mengindikasikan tingkat hirarki yang disandangnya.
Menurut sumber al-Suyuthi dan Abu Syamah, telah ada sebelum Muzaffar Al-Din yang dianggap sebagai dasar yang kuat bagi maulid dalam dunia islam. Perayaan ini masuk ke dalam sunni secara diam-diam dan terjadi silang pendapat tentang tanggal pelaksanaannya, namun hal ini tidak menjadi pembahasan ulama pada saat itu, justru persoalan boleh dan tidaknya perayaaan itulah yang cukup ramai dipolemikkan, hingga Abu Syamah yang setuju dengan perayaan ini menyebutnya sebagai Bid’ah Khasanah.
Maulid disebarluaskan di Sabtah oleh Abu al-’Abbas al-’Asafi pada saat kekuatan politik kristen demikian kuat di kota ini. Tujuannya adalah untuk menghentikan perayaan-perayaan Kristen dan menonjolkan identitas Islam. Guna keabsahan maulid ini ia menulis buku al-Durr al-Munazzam fi maulid al-nabi al-mu’azzam. Tahun 647 H/1250 M anaknya melanjutkan misi ayahnya menyelesaikan buku tersebut. Di dalam buku ini dituangkan signifikansin politik maulid; antara lain kepopuleran penguasa terangkat dengan persembahan mereka kepada rakyat. Abu al-Qosim (putra Abu al-’Abbas) sangat semangat dalam menyebarkan perayaan maulid ke luar Sabtah dengan harapan umat islam bersatu dan bergandengan tangan dalam menghadapi kristen. Bahkan Abu Marwan al-Yuhanisi yang termasuk kalangan mistik juga ikut menyelenggarakan acara maulid.
Penguasa Marini yaitu Abu Yusuf Ya’kub pada 691 H/1292 M. Juga menyelenggarakan maulid dalam rangka mengesahkan kekuasaannya, bahkan pada puncak kekuasaannya acara maulid dilaksanakan secara besar-besaran. Dan sejak abad 8 H / 14 M maulid di kalangan istana mulai berkurang sementara di kalangan rakyat semakin populer, semarak dan penuh gairah. Dan mulai abad inilah terjadi perbincangan mengenai boleh dan tidaknya maulid bagi ulama maghribi, seperti Ibn ‘Abbad al-Rundi membolehkannya selama tidak melanggar hukum. Kondisi ini juga dialami oleh dinasti Wattasi di mana maulid tidak menjadi penting bagi istana, sementara sangat populer di kalangan rakyat.
Di Andalus, maulid dirayakan di kalangan Abu Marwan al-Yuhanisi (w.67 H/1268 M) dan kelompok mistiknya sekitar tahun 1250. Data tertua maulid di istana Nasri yaitu pada masa pemerintahan Yusuf 1 (763-755 H/1333-1354M), hal ini dimungkinkan karena adanya kontak istana dengan kelompok mistik. Kemudian pada masa Muhammad V (763-793 H/1362 – 1391 M) maulid menjadi salah satu perayaan penting, yang mana sultan pada saat itu dipuji-puji, hubungan hirarkis semakin kokoh. Sepeninggal Muhammad V ini maulid mulai menghilang, namun di belakang ketidaksepakatan boleh tidaknya maulid, ternyata di luar istana perayaan maulid tetap berlangsung bahkan hingga jatuhnya dinasti Nasri dan dilanjutkan oleh orang-orang Marisko pada abad 16 M.
Maulid pada masa Abu Hammu II (760-777 H/1359-1376 M) dianggap sebagai penguasa ‘Abd al-Wahid pertama yang merayakannya, tampaknya perayaan ini berperan penting dalam memperkokoh hubungan hirarkis di wilayahnya, perayaan ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Abu Malik’Abd al-Wahid (814-827 H/1411-1423 M), namun setelah keduanya ini tidak diketahui secara jelas dilaksanakan istana atau tidak. Pada masa Abu Malik ini ada tanda-tanda bahwa maulid diadakan di sekolah-sekolah al-Qur’an, padamasa yang sama IbnMarzuq al Hafidh sedang aktif menghapus segala bentuk maksiat yang terjada dalam maulid, namun menurut Wansyarisi, ia tidak berhasil.
Dinasti Hafsi termasuk lambat dalam memperkenalkan maulid, sekalipun di daerah tertentu dari wilayah ini telah melakukannya, namun Ifriqiyah baru diadakan pada abad 9 H/ 15 M kecuali yang diadakan oleh Abu Yahya, namun perayaan inipun terakhir dihambat oleh ulama Hafsi. Begitu kuatnya tantangan ulama, baru paa awal abad 9 H/ 15 M maulid mulai diperkenalkan oleh Khalifah Abu Faris, namun demikian pertentangan tetap berlangsung hingga pada paro abad 9/14 M maulid disetujui oleh al-Rassa’ (mufti paling berwenang di kalangan masyarakat Hafsi menyetujuinya).
Menurut Abu Bakar Ibn ‘Arif dalam kitab I’anat al-Thalibin III halaman 364 bahwa maulid pernah dilakukan pada abad 2 H secara sederhana, dan diadakan besar-besaran pada abad 6 H/11 M. Menurutnya raja yang pertama kali mengadakan adalah Abu Sa’id Mudhazaffar dari Bani Fatimi yang memerintah kerajaan Arbel di negeri Irak sebelah Timur Laut, Raja Mudzaffar ini adalah ipar Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, karena masyarakatnya telah mapan dari sisi ekonomi dan mulai kurang semangatnya dalam berjuang karena terbuai oleh mimpi, padahal negara sedang terancam dari luar yaitu serangan raja Jengis Khan, maka diadakan perayaan besar-besaran dengan lomba menyusun manaqib al rasul guna membangkitkan semangat kepribadian Nabi dalam diri masyarakatnya,dan misi inipun berhasil. Dan sejak saat itulah perayaan sangat memasyarakat.
Diantara manaqib al rasul yang sering dibaca di Indonesia adalah maulid syaraf al-anam karya al-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Maulid al-Daiba’i karya al-Imam ‘Abd al-Rahman al-Daiba’i, Maulid ‘Azab karya al-Imam Syaikh Muhammad al-’Azab, Qashidah Burdah karya Syaikkh Muhammad al-Bushiri. Isinya merupakan Nabi, shalawat, sanjungan dan pujian terhadapnya dalam bentuk prosa maupun syair-syair yang terkesan didalamnya ada yang berlebihan, ada pula yang wajar. Bertolah dari bacaan inilah yang memunculkan pro dan kontra. Untuk meletakan makna yang sesungguhnya dengan cara menyelami lebih jauh makna syair tersebut denganmemperhatikan sejarah serta gaya pengarangnya atau dalam bahasa ilmiah dikenal dengan pendekatan Hermenutik.
Bahwa perayaan Maulid Nabi tidak dijumpai pada masa awal Islam. Hanya ada satu riwayat yang menggambarkan bagaimana Nabi merayakan hari lahirnya sendiri yaitu dengan berpuasa, yaitu riwayat Abu Qatadah yang menyatakan bahwa ketika Rosulullah Saw., ditanya tentang alasan mengapa berpuasa pada setiap hari senin, beliau menjawab bahwa pada hari itu merupakan hari lahirku juga hari dimana aku pertama kali diutus sebagai sebagai nabi (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, ‘Abd al-Razzaq dan Abu Ya’la).
Tradisi Shalawatan di Indonesia yang bersumber dari maulid syaraf al-anam karya al-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji terkenal dengan Barjanzi, Maulid al-Daiba’i karya al-Imam ‘Abd al-Rahman al-Daiba’I terkenal dengan Dibag’an, Maulid ‘Azab karya al-Imam Syaikh Muhammad al-’Azab, Qashidah Burdah karya Syaikkh Muhammad al-Bushiri terkenal dengan Qosidah, sebagai syiar perlu mendapat catatan, namun untuk mengetahui kebenaran ajarannya, perlu disampaikan sejarah dan makna apa yang dibaca, lebih-lebih perlu ditinjau kembali hal-hal yang bersifat berlebihan untuk direfisi oleh ulama saat ini dan ditemukan format baru yang lebih baik bukan sekedar melanggengkan sesuatu yang diketahui jelas-jelas salah atau bahkan atau mengobrak abrik tradisi yang belum jelas kesalahannya ! Al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadis al-ashlah (memelihara aset-aset yang baik danmenerima aset-aset baru yang lebih baik lagi). Wallaahu a’lam.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya,
dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu...
artikel di poskan oleh +Rinal Purba
21. Alat-alat Orkes untuk Hiburan
Soal : Bagaimana hukum alat-alat orkes (mazammirul-lahwi) yang dipergunakan untuk bersenang-senang (hiburan)? Apabila haram, apakah termasuk juga terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala dan seruling permainan anak-anak (damenan, Jawa)?
Jawab : Muktamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala, dan seruling permainan anak-anak dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.
Keterangan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din:
فَبِهَذِهِ الْمَعَانِي يَحْرُمُ الْمِزْمَارُ الْعِرَقِيُّ وَ الْأَوْتَارُ كُلُّهَا كَالْعُوْدِ وَ الضَّبْحِ وَ الرَّبَّابِ وَ الْبَرِيْطِ وَ غَيْرِهَا وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَيْسَ فِي مَعْنَاهَا كَشَاهِيْنٍ الرُّعَاةِ وَ الْحَجِيْجِ وَ شَاهِيْنٍ الطَّبَالِيْنَ.
“Dengan pengertian ini maka haramlah seruling Irak dan seluruh peralatan musik yang menggunakan senar seperti ‘ud (potongan kayu), al-dhabh, rabbab dan barith (nama-nama peralatan musik Arab). Sedangkan yang selain itu maka tidak termasuk dalam pengertian yang diharamkan seperti bunyi suara (menyerupai) burung elang yang dilakukan para penggembala, jama’ah haji, dan suara gendering”.
Maulid Nabi saw. adalah kelahiran nabi Muhammad, Rasulullah saw.. Beliau saw. dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai tanggal kelahirannya, para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah ini, dan tidak ada dari mereka yang mengetahui secara pasti, namun menurut buku “Sirah Nabawiyah”, karya Shafiyurrahman Mubarakfury -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad saw. dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah.
Bertepatan dengan itu, terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya adalah, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu, Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah saw. berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di syam.”
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam ka’bah, seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad untuk beliau, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi saw., yang kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum muslimin sejak berlalunya tiga generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.”
Dan dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Binasalah orang yang berlebih-lebihan dalam tindakannya.” (HR Muslim).
Hadis di atas menerangkan larangan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk memujinya secara berlebih-lebihan. “Janganlah kamu sekalian memujiku dengan berlebih-lebihan.” Artinya adalah janganlah kamu sekalian memujiku dengan cara yang bathil, dan janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadis tersebut (laa tuthruni), adalah melampaui batas dalam memuji.
Kenyataannya, kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan mengagungkan orang yang menjadi panutan dan junjungannya, sehingga mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yang seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yang sebenarnya hanya milik Allah. Hal itu karena perilaku mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung panutan mereka.
Di Aula SMK Muh I Temanggung, tanggal 10 April 2012
Berdasarkan naskah-naskah yang dimiliki Ibn Al-Ma’mun, Ibn Al-Tuwair, Al-Suyuthi, Abu Syamah dan beberapa naskah penulis muslim abad 5-10 yang disimpulkan oleh peneliti Nico Kaptein dalam serial INIS no. 22.
Maulid Nabi diadakan pada abad 5H/11M. Pada masa Daulah Fatimi, dan dirayakan tidak selalu pada tanggal 12 Robi’ul awwal. Peringatan Maulid ini dimeriahkan dengan khotbah dan pembacaan Al-qur’an serta pemberian hadiah kepada para pejabat dalam rangka mempererat FATIMI dan AHL AL-BAIT menjadi semakin kokoh, juga memupuk kesetiaan terhadap Imam-khalifah yang FATIMI.Sebelum Fatimi jatuh, perayaan maulid juga dirayakan dilingkungan islam sunni pada zaman Nur al-Din, juga di Syiria, bahkan juga diselenggarakan di Makkah. Diduga peringatan maulid di lingkungan orang sunni lebih bermuatan sosial politik dalam rangka melihat kesetiaan pejabat yang diundang bahkan dari hadiah yang dipersembahkan kepada penerimanya mengindikasikan tingkat hirarki yang disandangnya.
Menurut sumber al-Suyuthi dan Abu Syamah, telah ada sebelum Muzaffar Al-Din yang dianggap sebagai dasar yang kuat bagi maulid dalam dunia islam. Perayaan ini masuk ke dalam sunni secara diam-diam dan terjadi silang pendapat tentang tanggal pelaksanaannya, namun hal ini tidak menjadi pembahasan ulama pada saat itu, justru persoalan boleh dan tidaknya perayaaan itulah yang cukup ramai dipolemikkan, hingga Abu Syamah yang setuju dengan perayaan ini menyebutnya sebagai Bid’ah Khasanah.
Maulid disebarluaskan di Sabtah oleh Abu al-’Abbas al-’Asafi pada saat kekuatan politik kristen demikian kuat di kota ini. Tujuannya adalah untuk menghentikan perayaan-perayaan Kristen dan menonjolkan identitas Islam. Guna keabsahan maulid ini ia menulis buku al-Durr al-Munazzam fi maulid al-nabi al-mu’azzam. Tahun 647 H/1250 M anaknya melanjutkan misi ayahnya menyelesaikan buku tersebut. Di dalam buku ini dituangkan signifikansin politik maulid; antara lain kepopuleran penguasa terangkat dengan persembahan mereka kepada rakyat. Abu al-Qosim (putra Abu al-’Abbas) sangat semangat dalam menyebarkan perayaan maulid ke luar Sabtah dengan harapan umat islam bersatu dan bergandengan tangan dalam menghadapi kristen. Bahkan Abu Marwan al-Yuhanisi yang termasuk kalangan mistik juga ikut menyelenggarakan acara maulid.
Penguasa Marini yaitu Abu Yusuf Ya’kub pada 691 H/1292 M. Juga menyelenggarakan maulid dalam rangka mengesahkan kekuasaannya, bahkan pada puncak kekuasaannya acara maulid dilaksanakan secara besar-besaran. Dan sejak abad 8 H / 14 M maulid di kalangan istana mulai berkurang sementara di kalangan rakyat semakin populer, semarak dan penuh gairah. Dan mulai abad inilah terjadi perbincangan mengenai boleh dan tidaknya maulid bagi ulama maghribi, seperti Ibn ‘Abbad al-Rundi membolehkannya selama tidak melanggar hukum. Kondisi ini juga dialami oleh dinasti Wattasi di mana maulid tidak menjadi penting bagi istana, sementara sangat populer di kalangan rakyat.
Di Andalus, maulid dirayakan di kalangan Abu Marwan al-Yuhanisi (w.67 H/1268 M) dan kelompok mistiknya sekitar tahun 1250. Data tertua maulid di istana Nasri yaitu pada masa pemerintahan Yusuf 1 (763-755 H/1333-1354M), hal ini dimungkinkan karena adanya kontak istana dengan kelompok mistik. Kemudian pada masa Muhammad V (763-793 H/1362 – 1391 M) maulid menjadi salah satu perayaan penting, yang mana sultan pada saat itu dipuji-puji, hubungan hirarkis semakin kokoh. Sepeninggal Muhammad V ini maulid mulai menghilang, namun di belakang ketidaksepakatan boleh tidaknya maulid, ternyata di luar istana perayaan maulid tetap berlangsung bahkan hingga jatuhnya dinasti Nasri dan dilanjutkan oleh orang-orang Marisko pada abad 16 M.
Maulid pada masa Abu Hammu II (760-777 H/1359-1376 M) dianggap sebagai penguasa ‘Abd al-Wahid pertama yang merayakannya, tampaknya perayaan ini berperan penting dalam memperkokoh hubungan hirarkis di wilayahnya, perayaan ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Abu Malik’Abd al-Wahid (814-827 H/1411-1423 M), namun setelah keduanya ini tidak diketahui secara jelas dilaksanakan istana atau tidak. Pada masa Abu Malik ini ada tanda-tanda bahwa maulid diadakan di sekolah-sekolah al-Qur’an, padamasa yang sama IbnMarzuq al Hafidh sedang aktif menghapus segala bentuk maksiat yang terjada dalam maulid, namun menurut Wansyarisi, ia tidak berhasil.
Dinasti Hafsi termasuk lambat dalam memperkenalkan maulid, sekalipun di daerah tertentu dari wilayah ini telah melakukannya, namun Ifriqiyah baru diadakan pada abad 9 H/ 15 M kecuali yang diadakan oleh Abu Yahya, namun perayaan inipun terakhir dihambat oleh ulama Hafsi. Begitu kuatnya tantangan ulama, baru paa awal abad 9 H/ 15 M maulid mulai diperkenalkan oleh Khalifah Abu Faris, namun demikian pertentangan tetap berlangsung hingga pada paro abad 9/14 M maulid disetujui oleh al-Rassa’ (mufti paling berwenang di kalangan masyarakat Hafsi menyetujuinya).
Menurut Abu Bakar Ibn ‘Arif dalam kitab I’anat al-Thalibin III halaman 364 bahwa maulid pernah dilakukan pada abad 2 H secara sederhana, dan diadakan besar-besaran pada abad 6 H/11 M. Menurutnya raja yang pertama kali mengadakan adalah Abu Sa’id Mudhazaffar dari Bani Fatimi yang memerintah kerajaan Arbel di negeri Irak sebelah Timur Laut, Raja Mudzaffar ini adalah ipar Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, karena masyarakatnya telah mapan dari sisi ekonomi dan mulai kurang semangatnya dalam berjuang karena terbuai oleh mimpi, padahal negara sedang terancam dari luar yaitu serangan raja Jengis Khan, maka diadakan perayaan besar-besaran dengan lomba menyusun manaqib al rasul guna membangkitkan semangat kepribadian Nabi dalam diri masyarakatnya,dan misi inipun berhasil. Dan sejak saat itulah perayaan sangat memasyarakat.
Diantara manaqib al rasul yang sering dibaca di Indonesia adalah maulid syaraf al-anam karya al-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Maulid al-Daiba’i karya al-Imam ‘Abd al-Rahman al-Daiba’i, Maulid ‘Azab karya al-Imam Syaikh Muhammad al-’Azab, Qashidah Burdah karya Syaikkh Muhammad al-Bushiri. Isinya merupakan Nabi, shalawat, sanjungan dan pujian terhadapnya dalam bentuk prosa maupun syair-syair yang terkesan didalamnya ada yang berlebihan, ada pula yang wajar. Bertolah dari bacaan inilah yang memunculkan pro dan kontra. Untuk meletakan makna yang sesungguhnya dengan cara menyelami lebih jauh makna syair tersebut denganmemperhatikan sejarah serta gaya pengarangnya atau dalam bahasa ilmiah dikenal dengan pendekatan Hermenutik.
Bahwa perayaan Maulid Nabi tidak dijumpai pada masa awal Islam. Hanya ada satu riwayat yang menggambarkan bagaimana Nabi merayakan hari lahirnya sendiri yaitu dengan berpuasa, yaitu riwayat Abu Qatadah yang menyatakan bahwa ketika Rosulullah Saw., ditanya tentang alasan mengapa berpuasa pada setiap hari senin, beliau menjawab bahwa pada hari itu merupakan hari lahirku juga hari dimana aku pertama kali diutus sebagai sebagai nabi (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, ‘Abd al-Razzaq dan Abu Ya’la).
Tradisi Shalawatan di Indonesia yang bersumber dari maulid syaraf al-anam karya al-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji terkenal dengan Barjanzi, Maulid al-Daiba’i karya al-Imam ‘Abd al-Rahman al-Daiba’I terkenal dengan Dibag’an, Maulid ‘Azab karya al-Imam Syaikh Muhammad al-’Azab, Qashidah Burdah karya Syaikkh Muhammad al-Bushiri terkenal dengan Qosidah, sebagai syiar perlu mendapat catatan, namun untuk mengetahui kebenaran ajarannya, perlu disampaikan sejarah dan makna apa yang dibaca, lebih-lebih perlu ditinjau kembali hal-hal yang bersifat berlebihan untuk direfisi oleh ulama saat ini dan ditemukan format baru yang lebih baik bukan sekedar melanggengkan sesuatu yang diketahui jelas-jelas salah atau bahkan atau mengobrak abrik tradisi yang belum jelas kesalahannya ! Al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadis al-ashlah (memelihara aset-aset yang baik danmenerima aset-aset baru yang lebih baik lagi). Wallaahu a’lam.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya,
dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu...
artikel di poskan oleh +Rinal Purba
PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!
2 komentar
salah kaprah tentang hadits yg berlbih lebihan itu... maksud hadits itu jgn brlbih lbihan sprti umat nasrani yg menganggap nabi isa Tuhan.
.
Saya tidak tahu, apakah karena daya pemahaman saya yang lemah ataukah karena alur uraiannya yang tidak terfokus (banyak penjelasan tambahan, saya kesulitan menarik kesimpulan maksud artikel ini.
thanks if u comments